Sabtu, 30 Oktober 2010

Membahas Bahasa


Kita punya koq bahasa sendiri. Bahasa Indonesia namanya. Bahasa yang indah dan tidak menyusahkan telinga. Bahasa yang sudah dipakai sejak lama. Nenek moyang kita menggunakannya sebagai lingua franca di nusantara. Bahasa yang telah membangun peradaban dan merekam sejarah bangsa. Bahasa yang telah mempersatukan kita lewat Sumpah Pemuda. Bahasa yang dipakai bapak bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan negara. Bahasa yang diucapkan orangtua kala mendidik kita. Bahasa yang mengakrabkan kita dengan saudara sebangsa dari berbagai suku di tanah air ini. Bahasa yang tidak kaku dan terbuka. Bahasa yang egaliter, yang tidak mengenal strata sosial. Semua sama di mata Bahasa Indonesia. Kita sudah lama merawat bahasa ini dengan segala susah-senangnya. Lalu kenapa kita masih malu menggunakannya? Kenapa pembawa berita lebih senang menuturkan kata /’chaina/ dari pada /Cina/? Kenapa masih sering menyelipkan versi Inggris dari suatu istilah yang kita punya padanannya dalam bahasa kita? Padahal sedang berpidato kenegaraan kepada rakyat yang sebagian besar mungkin tak mengerti dengan istilah-istilah asing itu. Apa karena ingin pamer saja karena baru belajar Bahasa Inggris?

Malulah pada bapak-bapak bahasa kita, Muhammad Yamin, Thabrani, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, dan lainnya. Bung Karno pernah memohon pada rakyatnya, kali ini dengan nada suara seperti memelas dan tidak berapi-api seperti biasanya. “Aku minta kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, delapan puluh juta jumlahnya. Setialah !”

Jumat, 30 Juli 2010

Air Susu Dibalas Madu

Beberapa hari terakhir ini dan kemungkinan beberapa hari kedepan aku akan semakin intim dengan profesi baruku, PENGACARA (Pengangguran Gak Ada Acara). Gara-gara kelalaian masa muda, aku telat jadi sarjana. Jadi saat teman-teman seangkatan berjibaku dengan sidang, revisi, toga, wisuda, dan liburan, aku terbenam sendiri di rumah. Aku ingin mengistirahatkan otak sebelum menghadapi skripsi semester depan, maka liburan ini aku putuskan untuk tak menyentuh buku-buku dulu. Aku juga sudah mengirim beberapa surat lamaran kerja, maka aku harus menunggu panggilan interview yang ternyata membosankan. Kenapa membosankan? Karena duit kurang sehingga tak bisa jalan-jalan. Belum lagi Jakarta sedang macet-macetnya dan motor yang semakin menua, dibawa jalan jauh sedikit batuk-batuk. Namun kenapa aku jadi telat begitu kuliahnya sampai ditinggal teman-teman seangkatan sidang? Apa Kau benar-benar ingin tahu Kawan? Ah, Kau memang selalu ingin tahu saja urusan orang. Ya sudahlah ku beritahu saja. Pasang telingamu baik-baik. Akan aku ceritakan. Kalau kau tak menyimak benar-benar dan ada yang terlewat, tak mau aku mengulang bercerita. Paham?
Tak ada angin tak ada ombak, saat itu aku ditimpa musibah yang membuat tulang-belulang nyilu. Orang yang paling ku cintai harus pergi untuk selamanya dan satu-satunya cara untuk bertemu lagi, aku harus menjadi hamba Tuhan yang super soleh biar masuk surga dan mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf padanya. Itu tak akan mudah mengingat kualitas iman yang terus-menerus digerus era kebebasan dari barat. Aku frustrasi dan jadi tak khusyuk mengikuti kuliah. Tanpa banyak cincong, salah satu dosen yang terganggu dengan performaku dalam kelas menghadiahkan ‘D’. Bingkisan manis itu, bersama kawan-kawannya, gerombolan nilai ‘C’, bersekongkol tak memberi ku kesempatan mengambil mata kuliah “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” tepat pada waktunya. Walhasil, aku, yang juga tak pernah mengambil semester pendek karena seluruh liburan panjang dipakai untuk mudik, tergopoh-gopoh menyusul semua mata kuliah yang terlambat.
Nasi sudah jadi bubur dan mie telah lodoh, semester ke delapan aku tak boleh mengambil skripsi padahal jatah sks mencukupi. Aku tak dapat bergelut dengan skripsi sebelum mata kuliah “Analisa Wacana” dan “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” jilid dua khatam. Ini semua kesalahanku dan tak ada alasan menyalahkan orang lain. Hanya saja hati ini jadi tak enak sama Papa, andai Mama masih ada, pasti juga sudah panjang ceramahnya. Mama selalu ingin aku jadi sarjana. Sarjana tepat waktu kalau bisa, yang langsung angkat kaki dari kampus setelah empat tahun. Dengan semua rasa bersalah dipundak aku menghadap ke pusaranya untuk meminta maaf dan dalam pelukan sepi, dalam tenangnya sore di komplek pemakaman, aku terdiam seribu bahasa, sejuta kalimat, dan bermiliar kata menekuri omelan Mama yang dongkol dengan anaknya yang pemalas. Namun setelah semua terlampiaskan, Mama mengusap rambutku sebagaimana selalu ia lakukan kala masih di dunia. Beliau lalu membujuk dan memaklumi ku. Mamaku memang orang yang paling pengertian.
“Tapi awas ya kalau telat lagi sampai setahun !!” ancamnya seraya tersenyum. Aku balas tersenyum lalu menangis dan Mama memelukku.
Omelan itu, senyum itu, tangisku itu, dan pelukannya yang menenangkan itu, semua itu hanya dalam benak saja. Saat membuka mata, Mama tak ada disitu. Aku masih bersimpuh di depan pusaranya yang berkeramik hijau. Anak-anak disana masih sibuk dengan layangannya. Ibu-ibu dibawah itu masih asyik bergosip. Ketenangan di pemakaman tak terusik, benar-benar tempat yang nyaman untuk mati. Dengan langkah berat aku tinggalkan Mama. Aku tahu ia tak sendirian disana. Allah Yang Baik pasti menemaninya atau paling tidak mengutus teman yang menyenangkan untuknya. Aku harus bangkit lagi, tak boleh terlambat lagi, apalagi sampai setahun, bisa-bisa diomeli lagi sama Mama.
Hidupku tiba-tiba berasa seperti filem action. Beberapa bulan yang lampau aku dapat ‘D’ untuk “Analisa Wacana” atau bahasa Padangnya, Discourse Analysis. Subjek itulah biang kerok keterlambatan kuliahku dan aku harus menghapus huruf sialan itu dari kartu hasil studi nanti, maka untuk semester ini Discourse Analysis (DA) ku pinang. Ini adalah ronde kedua dimana dendam harus dibalas dan yang membuat filem ini semakin menegangkan, ternyata dosen mata kuliah itu adalah orang yang sama dengan dosen DA dulu, orang yang sama yang memberikan nilai Dodol padaku. Tapi kali ini dia akan mendapatkan mahasiswa yang berbeda, mahasiswa yang penuh semangat ’45. Dosen itu tak akan menemukan alasan untuk men-’D’ kan aku lagi.
Untuk “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis”, aku bertemu dengan dosen laki-laki gaek yang agak unik. Telah lama ku dengar kabar burung bahwa dia agak ‘lebih perhatian’ dengan mahasiswa laki-laki. Aku tidak terlalu mengerti atau pura-pura tak mengerti maksudnya apa, yang pasti, hal itu cukup menguntungkan di pihakku. Biarlah menerima pelecehan seksual asal ‘B’sudah di tangan.
Burung-burung itu tak membawa kabar bohong. Dosen itu memang lebih perhatian kepada mahasiswa ketimbang mahasiswi. Kadang-kadang perhatiannya berlebihan. Satu semester aku dan rekan-rekan sekelasku yang cowok jadi bulan-bulanan cengan karena digodain dosen. Kalau dosennya tante-tante sih tak masalah, ini kakek-kakek. Biarlah begitu toh aku tak perlu sibuk-sibuk mengejar nilai ‘A’. Absensi ku jaga. Kalau ditanya dalam kelas ku jawab sebisaku dan sehemat mungkin. Aku juga tetap habis-habisan mengerjakan tugas, apalagi presentasi. Berbeda dengan di kelas DA, aku tidak bisa setengah-setengah. Dosen kelas ini adalah dosen senior. Seorang wanita yang telah berumur namun masih tampak fresh dan bersemangat. Beliau sangat cerdas dan-di luar mendok Jawanya yang kental-bahasa Inggrisnya sempurna. Dosen ini sangat perfeksionis dan aktif. Di kelas, beliau akan dengan senang hati bermonolog. Berkali-kali beliau menghimbau kami untuk juga aktif. Beliau juga berjanji tak akan banyak respon saat kami presentasi. Namun pertemuan berikutnya beliau kembali ber-was wes wos ria. Dosen tipe ini mudah ditebak perangainya. Dia akan sangat menghargai mahasiswa yang berani menghadapinya secara terbuka dengan banyak merespon dalam kelas. Kita juga harus talkative. Mahasiswa yang diam saja sepanjang semester seperti orang sakit gigi tak kena di hatinya. Kalau di kelasnya dulu aku menerapkan “silent is gold”, kali ini aku menerapkan “silent is goat”. Untuk mengikuti gaya mengajarnya aku harus lebih banyak membaca dan memahami isi kuliah. Aku tak bisa asal bicara di depannya. Inti masalah yang sedang dia bahas harus dimengerti matang-matang dulu. Bicara asal-mana keras-keras lagi-di tengah forum pendidikan yang terhormat ini adalah bunuh diri. Tampaknya beliau terpukau dengan penampilanku yang cukup memukau dalam kelas. Sampai pernah suatu hari, langit mendung membuat penyakit malasku kambuh. Bersegera aku minta izin pada sang dosen untuk tidak menghadiri kelas DA hari itu dengan alasan sakit. Beliau mengizinkan namun berkata bahwa beliau sebenarnya berharap aku masuk karena feedback dariku sangat dibutuhkan dalam kegiatan perkuliahan di kelas kami. Hanya aku yang cukup mampu mengimbangi gaya perkuliahannya.
Akhrinya air susu dibalas madu. Perjuangan ku tak sia-sia. Di kedua mata kuliah itu dengan dosen-dosen seniornya yang bahkan ketua jurusan tak bisa macam-macam dengan mereka, aku mendapatkan ‘A’. Dan karena hanya dua MK saja yang ku ambil, semester ini aku dianugerahi IP ‘4’. Kini aku siap untuk skripsi walau telat !

Jumat, 16 Juli 2010

Belajar Hidup


Mario Teguh, Motivator kondang yang humoris itu, pernah sekali berkata "Tak perlu mahir dulu untuk menjalani sebuah jabatan. Lakukan saja dan belajarlah saat menjalankannya." Tentu saja kalimat itu benar tapi tentu tak cocok diterapkan oleh para calon pilot. Mereka harus mahir dulu baru boleh menerbangkan pesawat kalau tidak, bisa kacau nanti.

Begitu juga hidup. Anda pikir ada manusia yang langsung mahir untuk hidup dulu baru diturunkan ke dunia? Tak ada. Semua orang terlahir sebagai bayi yang lemah dan bodoh. Kita belajar tentang kehidupan dan bagaimana untuk hidup langsung sambil menjalani kehidupan itu sendiri.

Aku sendiri merasa belum siap untuk diterjunkan ke dunia. Aku pun takut tak akan pernah siap. Hidup ini terlalu keras pada ku dan keadilan terasa bagaikan hanyalah fatamorgana. Aku merasa tak mendapatkan apa yang orang-orang lain dapatkan. Kelemahanku memang, jarang melihat ke bawah. Aku hanya sering melihat ke atas namun aku tetap tak rela.

Aku berusaha untuk menjalani hidup seperti sebagaimana seharusnya. Aku ingin mendisiplinkan diri dan tak banyak mengeluh. Namun ternyata itu sulit sekali. Hidup tak pernah mudah untuk ku. Sering sekali aku terjatuh, lalai, lupa, muak, dan dikuasai rasa malas dan kebosanan. Tiap kali aku gagal dan terjatuh, aku berjanji lagi untuk hidup lebih baik. Ku tunggu momentum yang terbaik untuk memulai namun tak lama kemudian aku terjatuh lagi. Aku merasa belum juga memulai hidupku yang sesungguhnya. Dua Puluh tahun lebih sudah ku lalui terasa sia-sia. Aku merasa belum melakukan apa-apa. Dua puluh tahun lebih sudah dan aku masih baru belajar untuk hidup dan mencari tahu untuk apa aku hidup. Naif memang bila aku merasa sendirian karena semua orang di usia ini juga mengalami hal yang sama, mencari jati diri dan mencari tahu apa yang akan dilakukan di kehidupannya ke depan. Tapi aku tetap merasa sendirian. Aku merasa orang-orang sudah memulai kehidupannya dan aku masih berdiri di belakang terpukau dengan kemajuan mereka.

Setelah ku renungkan, kenapa aku seperti ini? Mario Teguh menyadarkan aku bahwa tak perlu menunggu mahir dulu untuk hidup. Jalani saja hidup dan belajarlah di dalamnya karena salah satu esensi kehidupan sesungguhnya adalah belajar. Nabi Muhammad SAW yang sangat inspiratif itu pernah berkata "Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat", termasuk juga belajar untuk hidup. Kita harus terus belajar tanpa henti sepanjang hidup ini. Kita tak akan pernah mahir sempurna dalam hal menjalani kehidupan meski kita sudah berumur 40-an di masa-masa mapan. Kita akan selalu terjatuh, selalu salah dan gagal karena kita memang tak akan pernah berubah banyak dari keadaan saat kita terlahir, lemah dan bodoh. Hidup sudah dimulai dari tangisan pertama kita. Memang hidup yang kita lalui sering tak sesuai dengan harapan dan tak memuaskan. Namun itulah hidup. Jadikan masa lalu pelajaran berharga bukan jadi penyesalan sehingga kita merasa sia-sia melanjutkan kehidupan selanjutnya. Lakukan saja yang terbaik, saat ini, di tempat kita berdiri. Tautkan cita-cita dan mimpi-mimpi tertinggi yang bisa kita impikan dan bersiaplah untuk terjatuh kembali. Tapi selalu ingatlah untuk bangkit lagi setiap kali terjatuh dan jangan mengulur-ngulur waktu, jangan menunggu momentum terbaik sehingga kita menunda untuk bangkit kembali. Waktu itu sangat berharga, modal utama kita yang takkan tergantikan maka tiap detik dan tiap helaan nafas kita adalah momentum terbaik yang kita miliki.

Seperti kata Bapak Mario, Kemenangan dan Kekalahan adalah bagaikan dua sisi mata uang. Bila kita menjauhi kekalahan, itu berarti kita menjauhi kemenangan. Pepatah terkenal berbunyi "kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda". Kegagalan merupakan proses menuju kemenangan dan sekali engkau berhasil menang, itu sudah cukup mengganti seribu kegagalanmu. Jangan takut pada kegagalan karena tak akan pernah ada orang yang meneguk nikmatnya surga tanpa merasakan pedihnya kematian.

Saat aku terbangun pagi ini, aku menyimak lagu d'Masiv yang berjudul "Jangan Menyerah". Judulnya, liriknya, video klipnya, nada dan melodi lagunya, serta bandnya itu sendiri sangat inspiratif. Aku tersadar bahwa semua manusia sama, tak ada yang terlahir sempurna dan semua mendapatkan cobaan yang sangat berat sehingga kadang membuat kita terjatuh begitu dalam, begitu putus asa, dan membuat kita merasa seakan hidup ini tak ada artinya lagi. Kita kadang jadi malas melanjutkan hidup dan tak bergairah menjalaninya. Seorang kawan, Bernand, dalam "kesan dan pesan" di buku tahunan pernah menyentil orang-orang seperti aku. Ia berkata "Ada orang yang hidup karena ia memang ingin hidup, ada juga orang-orang yang hidup hanya karena ia belum bisa mati." Meski aku tak respect sama orang angkuh itu, namun kata-katanya begitu ku ingat hingga kini. Aku tak ingin jadi orang yang hidup karena dipermainkan takdir atau nasib. Aku tak ingin hidup hanya karena aku belum bisa mati. Aku tak ingin hidupku hanya berisi penantian kematian. Aku ingin menahlukkan kehidupan dan benar-benar menyentuh mimpi-mimpi yang ku gantungkan di bintang-bintang yang berserakan di langit nun jauh disana. Kehidupan ini adalah anugerah yang didapatkan karena memang aku ingin hidup. Harus syukuri hidup ini dengan segala apa yang aku punya. Berangkat dari apa yang ada, di tempat aku berdiri saat itu juga tanpa menunda-nunda, akan ku lakukan yang terbaik dalam menjalani hidup ini. Aku pun harus bersabar dan menjadi orang yang tak kenal putus asa agar aku berhak atas petunjuk Tuhan. Bantu aku Allah.


Jangan Menyerah..
Jangan Menyerah..
Jangan Menyerah..

Rabu, 16 Juni 2010

seSumbar


Kita orang sudah pernah aku ajak jalan-jalan keliling Sumatera toh? Nah, bagaimana kalau Kawan aku ajak keliling Sumatera Barat dalam blog kali ini biar lain waktu Kawan berkenan menabung gaji tiap bulan dan jatah cuti setahunnya untuk menjamah ranah Minang Kabau. Mau yah? Sudah mau sajalah…
Banyak akses menuju Sumbar dari Jakarta, bisa lewat kapal laut, bisa via bus AKAP yang markas besarnya di terminal Rawamangun sana. Kalau Kawan ke terminal itu lalu ke bagian loket antar kota antar provinsi, sejenak Kawan akan merasa seperti sedang di Padang, karena disana orang-orang banyak berbahasa Minang. Para calo tiket dan pembeli bertransaksi seolah mereka sedang di kampungnya saja.
Yang paling nyaman tentu saja terbang dengan pesawat. Sekarang banyak lho maskapai menawarkan tiket murah ke provinsi manapun termasuk ke Sumbar, namun soal safety, ya ada harga ada mutu. Hahaha…
Di Kota Padang Kawan akan disambut oleh Bandara International Minang yang sederhana namun rapih dan cantik. Jalan-jalanlah dulu di kota ini dan coba singgah ke Restoran Tanpa Nama atau Martabak Kubang Hayuda. Martabak Kubang Hayuda di Ulak Karang ini adalah tempat hangout nya warga Padang apalagi kalau malam minggu restoran ini akan penuh dan sibuk. Sambil menunggu, Kawan dapat melihat aksi para koki menyiapkan martabak dan roti cane yang dilempar, berterbangan di langit-langit, lalu dibanting lagi diatas penggorengan.
Selama di Padang, selain ke pantai kota dan mencicipi sate padang, Kawan dapat juga mampir ke Teluk Bayur atau ke dua situs yang berkaitan dengan dua tokoh legenda Indonesia yang paling mahsyur, yakni Jembatan Siti Nurbaya dan kalau mau agak jauh sedikit, Patung Malin Kundang di Pantai Air Manis. Di Bukit dekat Jembatan itu dulu dimakamkan kedua sejoli, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri yang romantika cintanya jauh lebih haru dan lebih tulus, dari roman Romeo Juliet. Kisah cinta yang jauh dari cium-ciuman, padahal belum muhrim, zina, apalagi divideokan, namun penuh dengan pengorbanan. Sedangkan di Pantai Air Manis Kawan akan segera menemukan bebatuan karang berserakan yang bila diperhatikan ternyata adalah sisa bangkai kapal laut pecah dan di tengah sana ada seonggok batu yang bila Kawan dekati, yak, itulah dia si anak durhaka Malin Kundang.
Sebelum Kawan sampai di Danau Singkarak, mampirlah di Nagari Kinari, sebuah desa yang masih tradisionil dimana sering dipentaskan tari-tarian adat dan pencak silat Minang yang belum lama ini dituangkan ke layar lebar lewat filem ‘Merantau’. Kemudian menepilah di danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba dan santaplah panganan ikan bilih yang sedap dengan bareh Solok nan lamak (beras Solok yang ueeennnakk...!!). Ikan sepanjang jari kelingking ini, atau (Mystacoleucus padangensis) merupakan spesies ikan yang diperkirakan hanya hidup di danau ini.
Selain Danau Singkarak, ada lagi danau yang lebih indah kiranya, Danau Maninjau namanya. Bila datang dari Bukit Tinggi, maka untuk menuju danau ini Kawan harus melewati kelok ampek puluah ampek (44), Jalanan sepanjang bukit yang memiliki tikungan-tikungan tajam yang curam sebanyak 44 buah. Selama penurunan ini nikmatilah pemandangan Maninjau yang cantik dari ketinggian dan makin menurun, makin dekat dan lekat. Puas-puasin deh menikmati keindahan danau yang luar biasa ini, kalau perlu menginap di guest houses yang sederhana agar sempat kita berenang. Kawan juga bisa mampir ke rumah kami di Gasang. Danau Maninjau juga merupakan habitat makhluk air tawar sedap lainnya, seperti rinuak, pensi, dan yang khas dan langka, ikan bada. Ikan bada, seperti halnya ikan bilih di Singkarak, hanya seukuran jari tangan, nikmat, dan hanya ditemukan di Danau Maninjau.



Buat para petualang kuliner Indonesia, khusus Masakan Padang, Bukit Tinggilah jantung hatinya. Setelah mampir di Ngarai Sianok, Benteng Fort de Kock, Lubang Japang (Lubang Jepang), Istana Bung Hatta, dan tentu saja Jam Gadang, silahkan bertempur di Nasi Kapau Uni Lis di Pasar Ateh, jangan lupa belanja cenderamata buat oleh-oleh, atau Katupek Etek Apuak di Pasar Lereng sambil menyeduh Teh Talua (Teh Telur). Dekat loket Panorama (sebuah taman untuk menikmati pemandang Ngarai Sianok di ketinggian Bukit Tinggi) ada yang disebut Pical Sikai dimana pical (pecel) dan lamang tapai dihidangkan. Di Ngarai Sianok sendiri, Kawan cobalah tes keperkasaan sambal Itiak Lado Ijo (Itik cabe hijau). Kalau buat makan malam yah cukup makan di salah satu Restoran Padang yang paling terkenal selain Sederhana dan Pagi Sore, yaitu Simpang Raya. Bila ingin meninggalkan Bukit Tinggi jangan lupa beli Keripik Sanjai yah, buat oleh-oleh.









Sekarang pilihlah Kawan, berniat ke pantai di pesisir Sumatera Barat seperti Pantai Sikuai atau Carocok, atau menyeberang ke Pulau Cubadak, atau malah ke Pulau Mentawai? Atau jangan-jangan Kawan ingin ke Danau Ateh Danau Bawah, dua buah danau kembar yang terpisah satu kilometer saja. Ehm..ke Lembah Harau sajalah ya. Harau bersama-sama Sianok merupakan ngarai, atau canyon, bahasa Melayu dalamnya. Lembah yang spektakuler ini juga menjabat sebagai salah satu wilayah konservasi alam dimana Bunga Raflesia juga tumbuh. Ada pula sebuah monumen peninggalan Belanda di kaki air terjun Sarasah Bunta yang indah dan asri, dimana tertera tanda tangan asisten residen Belanda di Lima Puluh Koto saat itu dan dua pejabat Indonesia, Tuanku Laras Datuk Kuning dan Datuk Kodoh yang membuka Lembah Harau sebagai taman wisata sejak 1926.
Balik ke Bukit Tinggi dan terus menuju Desa Pandai Sikek untuk melihat kerajinan tenun Minang yang cantik dan megah dimana seni menenun tradisional masih dipertahankan hingga hari ini. Yang wanita menenun, yang laki-laki mengukir kayu dan menghasilkan kerajinan ukir kayu yang luar biasa. Jangan melihat saja tapi yah, belilah juga. Sebelum meninggalkan Pandai Sikek, tak jauh dari situ jajanlah sebentar Bika Bakar Si Mariana yang sangat terkenal di Sumbar.


Selanjutnya kita menuju Istano Pagar Ruyuang, kediamannya raja-raja Minang zaman lawas. Di dalam Istana yang berupa Rumah Gadang besar ini, anda bisa lucu-lucuan berfoto dengan pakaian adat Minang bergaya selayaknya Anak Daro dan Marapulai (pengantin). Selanjutnya singgahlah Kawan di Sate Mak Syukur di Padang Panjang. Kawan akan belajar bagaimana menghabiskan kuah sate yang lezat menggiurkan tanpa menggunakan sendok. Dikokop? Bukan! Pokoknya datang saja dulu baru nanti tahu bagaimana caranya makan sate padang yang baik dan benar, sopan dan berseni.


Rute Bukit Tinggi - Padang dijamin bakal bikin Kawan berdecak kagum. Sungai deras berbatu di bawah, seribu kaki Bukit Barisan di atas dan tahu-tahu muncul jembatan rel kereta melintas di atas kepala, nongol seenaknya dari balik hutan perbukitan itu. Beristirahatlah sebentar di Lembah Anai, sebuah air terjun yang cuek nangkring begitu saja di tepi jalan. Air segar yang terjun bebas bergemuruh akan membuat kita relaks sebentar sambil meregang-regangkan otot-otot yang kaku oleh jauhnya perjalanan. Oya, jangan lupa mencoba jajanan khas disini yaitu gorengan sala lauak yang lagi panas-panasnya. Benar-benar memanjakan lidah deh.
Sesampai di Padang, selesai pulalah perjalanan panjang menjamah gemulai indah Ranah Minang. Memang belum semua destinasi wisata di Sumatera Barat telah aku tulis tapi paling tidak perjalanan ini mewakili untuk menunjukkan bahwa tidak salah Kementerian kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menjadikan Sumbar sebagai salah satu tujuan pariwisata utama nasional selain Bali, Jogja, dan Bunaken. Sekarang Kawan boleh sesumbar telah menahlukan objek-objek wisata se-Sumbar, walau hanya lewat blog. Hehehe…

Jumat, 11 Juni 2010

Semoga Saja

Sejak ketahuan Mama aku mengambil uangnya tanpa permisi, atau istilah kasarnya, mencuri, aku berjanji untuk tak pernah meminta ini-itu kepada orangtuaku -kalau tidak mendesak- dan aku juga berjanji untuk tidak mencuri uang mereka. Ya, uang mereka, tapi aku tak janji dengan uang atau barang orang lain. Kawan, aku ini dulu bandit cilik. Badanku kecil tapi tanganku panjang. Mungkin itu ulah pergaulan. Aku berteman dengan dua bocah yang sebenarnya anak orang kaya, namun mereka punya hobi yang agak kurang populer, mencuri barang-barang remeh. Bersama mereka, kami membentuk gerombolan bromocorah dan Sam (bukan nama sebenarnya) adalah gembongnya.

Modus kami adalah berlagak layaknya anak ingusan yang lugu bak gadis desa, namun diam-diam menggerogoti bak hama padi. Di toko buku, kami dengan lihai menyelipkan komik di balik baju. Aku ingat hampir menamatkan seluruh seri komik Dragon Ball dengan komik-komik haram itu. Di swalayan, aku menyimpan susu kotak di kantong celana, chiki di balik kaos dalam, lollipop di kantong pulpen, dan es krim di balik celana dalam. Agak dingin memang, tapi kami kenyang dengan makan siang yang luar biasa itu. Bila ke mall, di departemen mainan, kami menyelipkan segala macam mainan kecil mulai dari kodok karet, mobil-mobilan, uler-uleran, sampai SPG-SPG an. Keesokan harinya di sekolah aku langsung menjelma menjadi Suneo, pamer mainan baru keteman-teman.

Walau uang jajan ku sangat sedikit aku selalu sejahtera. Gizi cukup dan mainan selalu up-date. Sindikat ini makin merajalela, apalagi bila melihat profil begundalnya yang masih tak terjangkau hukum. Maka kami berjaya paling tidak sampai kejadian itu yang membuat aku benar-benar kapok dan bertaubat nasuha.

Saat itu matahari lagi semangat-semangatnya manas-manasin bumi. Aku dan adikku yang kecil sedang dalam perjalanan menuju Graha Cijantung, sebuah mall baru di dekat komplek kopasus. Karena tak cukup uang untuk ongkos aku selalu berjalan bila main kemana-mana. Bahkan untuk ke Graha yang jauh berkilo-kilo, aku mengajak adikku jalan kaki. Setiba di mall adikku kelelahan dan ia minta dibelikan makanan dan minum. Tentu saja aku tak punya duit untuk memenuhi permintaannya maka aku putuskan untuk kembali mengutil di swalayan. Dia aku suruh tunggu di luar karena bila ikut bisa mengganggu ku bekerja.

Masuk swalayan, semua tampak normal kecuali security perempuan yang pandanganya lekat padaku. Ia tampak curiga, sedang apa anak gembel ini masuk-masuk sendiri? Mana orangtuanya? Mau belanja atau… Mungkin itu yang sedang dipikirkannya.

Insting kriminalku menyatakan ini tak aman tapi aku kadung sudah di dalam dan adikku sedang kelaparan di luar sana. Dia butuh tambahan energi atau aku harus menggendongnya pulang. Aku sembunyi di balik salah satu rak dan setelah pasti embak-embak tadi sudah beranjak dari tempatnya mengawas, akupun segera beraksi. Dengan sigap aku sambar susu kotak ukuran mini. Sekarang apa makanannya..ehm..cokelat! sumber karbo dan gula, bikin kenyang, bikin kuat lagi. Pilihanku jatuh pada coklat batangan berbungkus merah itu, pas disaku. Langsung saja ku sembunyikan dan beranjak dari situ.

Gawat! Security itu melihat aksiku. Dia sudah siap di kasir menunggu ku. Sebentar, apa dia benar-benar melihatku mengambil cokelat tadi? Sebaiknya dengan tenang aku tidak keluar lewat kasir, santai saja melenggang bagai orang yang tak jadi beli. Tepat baru keluar dari swalayan, entah dari arah mana security brengsek itu menyergap ku. Tanganku ditariknya. Kuat sekali embak ini. Wajahnya sih lumayan, tapi badannya padat berisi. Lengannya besar-besar. Pasti seret jodoh wanita ini. Adikku, melihatku diseret, berlari mengikutiku. Dia terus bertanya-tanya ada apa ini, kenapa aku digiring bak napi yang baru tertangkap lagi setelah baru berhasil kabur. Dan sialnya semua pengunjung sore itu melihatku seperti melihat maling ayam yang digiring hansip. Malu sekali. Mau ditaruh dimana mukaku, muka adikku, dan muka kedua orangtuaku?

Aku dan adikku dibawa ke sebuah pintu di salah satu sudut mall ini. Sudut yang tak menarik perhatian. Pintunya tersembunyi dan disana tertulis, “Dilarang Masuk Kecuali Petugas”. Kami memasuki sebuah ruang dengan cat serba putih, sepertinya ruang keamanan. Aku gugup sekali. Di dalam duduk seorang satpam yang tampaknya tak senang acara mengopi sorenya terusik oleh kami.

“Nih Pak, ada yang maling!” lapor embaknya seraya menggelar barang-barang bukti di atas meja; sekotak susu dan sebatang cokelat.

Satpam itu memperhatikan aku dengan seksama lalu ia membentak.

“KECIL-KECIL UDAH MALING!!”

Jantungku hampir copot dan adikku mulai menangis.

“ANAK SIAPA KAMU? MANA ORANGTUA MU?!! Bentaknya lagi.

Tangis adikku makin keras. Ia ketakutan sekali. Aku berusah tetap tenang namun sebenarnya aku juga sangat ketakutan, panik malah. Tangan kakiku bergetar semua. Aku diinterogasi oleh mereka dan tak satupun ku jawab. Ini tak adil. Aku tak didampingi pengacara dan tak diperbolehkan menelepon. Aku berhak untuk diam. Lelah teriak-teriak, akhirnya aku diberi pilihan-pilihan sulit sebagai hukuman: disetrum, ditelanjangi baru boleh pulang, atau diantarkan langsung ke rumah dan dikembalikan ke orangtua. Kau tahu Kawan, lebih baik rambutku berdiri karena anuku disetrum, atau pulang ke rumah jalan kaki, telanjang. Yang aku tak mau adalah melihat raut wajah ibuku saat mendengar anaknya tertangkap kering maling di mall, mall-nya Kopasus lagi. Aku tak ingin mengecewakan Mama lagi. Aku sudah berjanji, walau sulit ditepati seperti yang pernah ku katakan padamu kawan, tapi ini harus.

Pekak mendengar tangisan adikku dan tak ada satu katapun terucap olehku selama interogasi, akhirnya kami dibebaskan tanpa syarat. Aku bersyukur tak diteriaki orang gila karena telanjang di jalan dengan rambut jigrak habis kena setrum. Saat melepas kami si satpam meneriaki ku sekali lagi,” PULANG SANA ANAK GEMBEL! AWAS KALAU SAYA NGELIHAT KAMU DI SINI LAGI! KU SERAHKAN KAU KE POLISI !!”

Yah sejak itu hingga sekarang dan semoga sampai selamanya aku tak pernah lagi makan uang haram. Aku berjanji untuk tak pernah lagi mencuri, merampok, mencopet, menjambret, menculik, mencoret-coret tembok rumah orang, atau apapun yang berbau kriminal. Bahkan kalaupun aku jadi pejabat aku tak akan korupsi. Semoga saja.

Jumat, 14 Mei 2010

Let's Get Lost !

Seorang kawan bertanya padaku-walau lebih terdengar seperti mengkritik, atau menyindir-"kenapa di Sumatera koq jarang ada tempat-tempat yang asyik buat dikunjungi? Paling danau Toba doang, di TV aja jarang diliput spot-spot pariwisatanya."

Walau aku ini nasionalis, darah chauvinis yang mendidih-didih juga dipompa jantung dalam tubuhku. Mendengarnya aku jadi gerah. Tapi tentu saja pertanyaan setengah menjatuhkan ini tak bisa ditanggapi dengan marah-marah. It won't help. Harus dengan pembuktian.
Harus diakui bahwa bisnis pariwisata di Sumatera tidaklah semaju di Jawa. Dua hal alasannya: Pertama, orang Melayu memang agak gagap pariwisata. Karena inti dari pariwisata adalah pelayanan penduduk setempat pada pendatang. Orang Melayu agak sulit melayani orang lain. Watak kami, watak majikan, jadi maaf-maaf ya..
Kedua, di era pemerintahan terpusat dulu, walau Sumatera banyak memberi pemasukan buat kantong pemerintah dari segi perkebunan dan tambang, namun kembalinya ke tanah kami dari Jakarta sangat sedikit. Di segi pariwisata, pemerintah lebih tertarik membangun Bali dan Jawa. Mungkin presiden waktu itu inginnya membangun kampungnya saja..
Kenapa TV jarang meliput Sumatera? Ehm.. aku rasa itu sih kawanku saja yang jarang nonton TV. Wong, aku sering mendapati tempat-tempat keren di Sumatera diliput di TV seperti dalam acara-acara dokumenter alam dan petualangan di TV 7 dan Trans TV. Mungkin memang tak sebanyak liputan tentang Jawa, Bali, dan Lombok, tapi aku rasa itu lebih ke masalah dana. Tentu program ke Sumatera atau pulau lain menelan biaya lebih banyak dari pada liputan di Jawa, kan? Kalau kawan pernah menjelajahi Sumatera, aku yakin kawan akan setuju bila dikatakan pulau itu memiliki banyak potensi alam untuk dijadikan spot-spot pariwisata. Disini aku akan uraikan beberapa tempat menarik yang berpotensi wisata atau yang memang sudah jadi tempat pariwisata sejak dulu di tanah Melayu, Sumatera.


Dari Merak, menyeberanglah kawan via kapal fery ke pintu gerbang paling ujung di Sumatera, Bakauheni. Kawan bisa berbelok dari Kalianda ke barat menuju pantai. Pantai disana lumayan oke, yah standar pantai wisata lah. Kelebihannya adalah dari sana anda dapat menikmati pemandangan Anak Krakatau, keturunan Gunung Krakatau yang agung itu, yang meletus hebat tahun 1883. Konon debu letusannya sampai menghalangi sinar matahari. Selama dua hari dua malam lebih, bumi gelap gulita.


Tapi di Lampung ini, Way Kambas lah primadonanya. Ekosistem dataran rendah ini mengkoleksi ketapang, cemara laut, dan meranti dari dunia tumbuh-tumbuhan. Dari kerajaan hewan, dikoleksi pula badak, gajah, harimau, tapir, siamang, bangau sandang lawe, bangau tong-tong, sempidan biru, kuau, pecuk ular, sampai bebek hutan. Ada juga berbagai jenis reptilia, amfibia, ikan, dan insekta. Semua orang juga tahu, yang namanya Way Kambas itu adalah pusat pelatihan gajah di Indonesia. Sejak berdiriannya tahun 1985, sekitar 300 ekor gajah sudah dijinakkan dan dilatih. Kalau dari pantai Kawan mampir ke Bandar Lampung, melengganglah ke Way Kambas, 112 km, dua jam perjalanan mobil.


Masih ingin menjelajahi hutan? Sumatera masih punya Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman ini membentang di empat provinsi; Sumbar, Jambi, Bengkulu, dan Sumsel. Koleksinya pun lebih kaya. Di Taman ini tersimpan 4000 jenis tanaman dan tuan rumahnya tentu saja, si bunga bangkai dan Raflesia Arnoldi yang legendaris. Selain mamalia raksasa yang Kawan temukan di Way Kambas, disini juga bermukim macan dahan, harimau loreng, katak tanduk, wau-wau hitam, simpai, dan kucing emas yang terancam punah. Di Taman Nasional Kerinci Anda bisa menikmati Danau Gunung Tujuh yang merupakan danau air tawar tertinggi letaknya di Asia dan safari ria di padang penggembalaan, rumah dari mamalia-mamalia besar; gajah, badak, tapir, rusa, dan harimau. Ada juga air terjun, goa-goa dengan stalaktit dan stalakmitnya, pancuran air panas, dan kebudayaan serta upacara-upacara adat penduduk setempat seperti suku Kubu atau Anak Dalam yang terpencil di dalam rimba, dan sangat tradisionil. Namun tentu saja buat para penahluk gunung, Gunung Kerinci yang menjulang setinggi 3.805 m diatas permukaan air laut, yang tak lain adalah gunung api aktif tertinggi di tanah Sumatera inilah maskotnya, pasti sangat menggoda bukan?


Jangan lupa mampirlah ke kampungnya mpek-mpek, kota Palembang yang indah dan nikmati salah satu sungai terpanjang alirannya di negeri ini, Sungai Musi. Pada sore sampai malam hari, kecaplah indahnya sunset yang disambut kerlap kerlip lampu malam di jembatan Ampera yang menjembatani Palembang ilir dan ulu, yang dibelah oleh Musi dengan panjang 750 km ini.


Masih di Sumatera Selatan, di kabupaten Lahat tepatnya, bercokol sebuah bukit yang puncaknya terlihat seperti ibu jari mengacung dari kepalan tangan. Warga setempat menyebutnya bukit Salero. Bukit unik ini biasa dijamah oleh para pemanjat tebing dari universitas-universitas se-Indonesia.


Kalau Kawan menyeberangi selat ke arah timur Sumsel, berlabuhlah di Bangka Belitung. Sejak diputarnya filem Laskar Pelangi, kepulauan ini makin terkenal dan makin banyak dikunjungi, karena memang indah kenyataanya. Kini Pulau Belitong juga dikenal sebagai Negeri Laskar Pekangi. Pantai -pantainya memiliki batu-batu granit yang besar berserakan sekenanya diatas pasir putih bersih yang ditingkahi ombak-ombak malas dari air laut yang biru jernih.


Ada lagi kepulauan dengan pantai indah di pantai timur Sumatera, Batam contohnya. Disini bahkan banyak spot-spot yang seru buat para penyelam. Tapi tetap saja kalau ke Batam, belanjalah temanya, karena disini banyak barang murah berkualitas dari Singapura.


Namun pantai-pantai di tepi barat Sumatera juga tak kalah hebat seperti Pantai Carocok. 60 km jaraknya dari kota Padang, Rp 2000,- tiket masuknya, maka silahkan nikmati jembatan apung yang dibuat dari kayu menjorok ke tengah laut dan salah satunya menuju ke Pulau Kereta. Pada tiap persimpangan jembatan ada gazebo tempat bersantai. Untuk mencapai pulau, pengunjung tinggal berjalan melintas laut, kira-kira 100 meter dari bibir pantai. Pulau Kereta menawarkan nuansa keindahan batu-batu laut dan karang laut.


Selain suku Anak Dalam di Jambi itu, para antropolog observers selalu tertantang untuk mendalami kepulauan Mentawai di seberang pesisir Sumatera Barat. Orang-orang proto-Melayu ini menato sekujur tubuh untuk menunjukan status dan perannya dalam komunitas.


Bila kembali ke pulau utama, mampirlah ke Paris van Sumatera, Bukit Tinggi. Kota yang lebih terlihat seperti sebuah taman yang luas ini dikenal lewat landmarknya, Jam Gadang. Di Bukit Tinggi yang pernah sempat menjadi ibu kota Indonesia sementara ini terdapat margasatwa, Jembatan Limpapeh yang mengangkangi Kampung Cina, Tangga Seribu dan Tangga Empat Puluh yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Bawah, Benteng Fort de Kock, dan Taman Panorama; Titik untuk mengamati keindahan Lembah Sianok, sebuah ngarai yang menakjubkan sepertihalnya Lembah Harau. Di taman ini juga terdapat Lubang Jepang, yakni jaringan terowongan yang membentang meronggangi bawah tanah Bukit Tinggi. Kota ini adalah tanah kelahiran wakil presiden pertama kita, Bung Hatta. Kenangan akan pahlawan proklamator ini masih tersimpan dalam rumah, pustaka, monumen, dan istana beliau.


Bila Kawan masih ingin melanjutkan penjelajahan ini, mampirlah ke kampung kami, dekat dari Bukit Tinggi, di tepi Danau Maninjau. Danau vulkanik ini, sungguh Kawan, memiliki panorama tak terkira indahnya. Anda bisa mengelilinginya dengan sepeda motor, seharian saja, atau mendaki kelok 44 dan menikmati genangan luas ini dari ketinggian di Embun Pagi atau Puncak Lawang. Jangan sebut diri Anda seorang paraglider sejati kalau belum terjun dari Puncak Lawang dan turun mengapung-apung sampai Bayur di tepi danau. Sudahlah, datang saja dulu, maka Kawan tak akan menuduh ku pembohong setelah terkagum-kagum sendiri dengan cerminan yang luas ini.


Sumatera memang pulau seribu danau di Indonesia, selain Maninjau, ada juga Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah, dan, kawan sudah barang tentu kenal, Danau Toba yang besar. Bagiku pribadi, danau ini adalah salah satu keajaiban dunia yang menari-nari di depan mata kita orang Indonesia. Saking luasnya danau ini jadi terlihat seperti laut dengan pulau Samosir yang bercokol di tengahnya. Kalau Kalian ingin bertandang kesana, ikutlah aku sekalian. Aku juga belum pernah. Pasti seru menikmati keindahan alam disana sekaligus mempelajari kebudayaan tradisional Batak.


Buat para pemberani, silahkan lanjutkan perjalanan sampai Serambi Mekah, Aceh. Perseteruan GAM dan TNI , dan tsunami sedikit banyak membuat terhambatnya perkembangan pariwisata di provinsi ini. Semenjak perdamaian yang telah tercipta, geliat pembangunan mulai terasa disana. Mari kita berdayakan provinsi Aceh Darus Salam ini, terutama titik-titik yang berpotensi wisata karena aku yakin Aceh juga hebat alam dan kebudayaannya, hanya saja kurang eksplorasi.

Selayang pandang di Sumatera telah kita lalui. Aku bukannya ingin berlagak-lagak Kawan, hanya ingin memperkenalkan bahwa Indonesia ini luas, bukan cuma Jawa Bali saja. Memang kita harus kelilingi dunia, tapi malu rasanya kan bila kita tak mengenal negeri sendiri. Maka dengan kerendahan hati, dengan lagak seperti penyuluh dari National Geography community, aku mengajak pada kawan-kawan sekalian;

Enjoy your planet and let’s get lost !



Minggu, 09 Mei 2010

Aku juga mencintaimu, terima kasih...


Alkisah hiduplah seorang pemuda bernama Syamsul Bachri. Ia tinggal di tepi sebuah danau indah, danau Maninjau namanya. Pemuda yang beranjak dewasa ini telah lama jatuh hati pada seorang gadis rupawan bernama Siti Nurbaya. Sesungguhnya mereka telah lama saling mengenal. Sejak kecil mereka berdua telah bermain bersama.
Maninjau telah menjadi tempat paling melankolis bagi Bachri selama masa remajanya. Namun Maninjau juga menjadi tempat yang paling menyedihkan baginya. Siti adalah representasinya tentang cinta. Memang Siti yang cantik jelita ini baik hati dan perhatian sekali pada Bachri. Kemana-mana mereka selalu bersama. Ke Pasar Senayan di hari Senin, Pasar Raba'a di hari Rabu, Akae'di hari Kamis, Jumek di hari Jumat, dan kesekolah pun mereka berangkat dan pulang bersama. Namun hati manusia siapa tahu. Hati Siti sangatlah misterius bagi Bachri. Selama ini yang tampak, Siti hanya menganggap Bachri tak lebih dari sekedar kawan. Ia tampak tak peduli pada hati rapuh pria berhati bocah ini. Bachri pun tak kuasa menyatakan cintanya pada Siti. Keberanian itu, yang selalu dikumpulkan pada malam hari di biliknya, selalu menguap tiap kali berhadapan dengan Siti. Menguap oleh hangatnya senyuman Siti, bak embun yang naik di waktu Duha, atau lelah yang sirna saat kita terjaga.

Kecantikan Siti ini kiranya menggema ke sekeliling danau. Berita ini sampai juga di daun telinga seorang tua kaya raya bernama Datuk Maringgih. Datuk yang baru kehilangan isteri tuanya ini, ingin melengkapi lagi isteri-isterinya sehingga kembali genap empat. Ia teringat akan uangnya yang lama telah dipinjam dan tak terkembalikan oleh ayah Siti. Segeralah ia berangkat ke rumah Siti untuk menagih hutang dan memastikan sendiri legenda kecantikan Siti. Mendapati ia betapa cantiknya Siti ini, bersegera ia melamar gadis itu dan sebagai gantinya hutang-hutang ayah Siti berikut bunga-bunganya diputihkan. Tadinya Siti tak berkenan disita begitu saja namun apa daya, ayahnya memang sudah tak mampu lagi melunasi hutang-hutang sebanyak itu. Ayahnya sudah tua renta yang sakit-sakitan dan ibunya telah lama tiada.

Tibalah hari pernikahan sang datuk yang berumur hampir 3/4 abad dengan gadis yang lebih pantas disebut cucunya itu. Bachri hanya mampu menelan kepedihan itu. Di malam pertama, Siti menolak untuk melayani nafkah batin Datuk. Datuk pun naik pitam dan menampar Siti. Siti meninggal karena itu dan tentu itu membuat Bachri makin hancur mendengar kabarnya.

Sebulan berselang terdengar kabar Datuk menikahi gadis lain. Bachri menyempatkan singgah ke rumah Almarhumah Siti. Ayah Siti memberinya sebuah buku catatan harian yang dititipkan Siti agar diberikan pada Bachri sebelum hari pernikahannya. Bachri begitu terkejut membaca buku itu karena disitu Siti menuliskan seluruh isi hatinya yang sebenarnya. Ternyata selama ini Siti memendam perasaan yang sama pada Bachri. Sedihnya Bachri mengetahui hal ini dan ia begitu marah mendengar bahwa ternyata Datuk sendirilah yang membunuh Siti, karena kabar yang ia dengar sebelumnya, Siti jatuh terpeleset di kamar mandi.

Berhambur keluar Bachri menuju rumah sang Datuk. Setelah berhasil melumpuhkan penjaga-penjaga rumah, Bachri segera menemui Datuk yang bersembunyi di dalam rumah. Terjadi perkelahian yang sengit antar mereka. Orang tua itu berhasil menikam punggung Bachri namun sejurus kemudian Bachri berhasil merobek perut musuhnya dengan parang. Setelah mati Datuk Maringgih di tangannya, Bachri segera berlari ketepian danau dan bersandar pada sebatang pohon. Darah hangat mengalir deras keluar dari punggungnya. Disaat dingin mulai memeluk tubuhnya, sesosok wanita cantik jelita menghampiri. Ia berpakaian bak anak daro dengan baju kurung dan bermahkotakan suntiang emas yang megah . Sungguh mempelai wanita yang elok tak terkatakan. Semakin dekat semakin teranglah siapa wanita itu gerangan. Ternyata itu Siti. Bukan malaikat maut. Siti tersenyum dan meraih tangan Bachri.

" Bila engkau dan aku diterima di surgaNya, engkaulah yang pertama kan ku cari dan aku miliki. Aku tak ingin gagal lagi seperti di dunia ini, Engkaulah bidadari yang ku butuh untuk menemani ku di sana. Karena engkaulah yang ku cintai selama ini", berkata Bachri.

Sambil tersenyum Siti Nurbaya menjawab, " Aku juga mencintaimu, terima kasih" Lalu keduanya menghilang dibalik halimun.