Jumat, 11 Juni 2010

Semoga Saja

Sejak ketahuan Mama aku mengambil uangnya tanpa permisi, atau istilah kasarnya, mencuri, aku berjanji untuk tak pernah meminta ini-itu kepada orangtuaku -kalau tidak mendesak- dan aku juga berjanji untuk tidak mencuri uang mereka. Ya, uang mereka, tapi aku tak janji dengan uang atau barang orang lain. Kawan, aku ini dulu bandit cilik. Badanku kecil tapi tanganku panjang. Mungkin itu ulah pergaulan. Aku berteman dengan dua bocah yang sebenarnya anak orang kaya, namun mereka punya hobi yang agak kurang populer, mencuri barang-barang remeh. Bersama mereka, kami membentuk gerombolan bromocorah dan Sam (bukan nama sebenarnya) adalah gembongnya.

Modus kami adalah berlagak layaknya anak ingusan yang lugu bak gadis desa, namun diam-diam menggerogoti bak hama padi. Di toko buku, kami dengan lihai menyelipkan komik di balik baju. Aku ingat hampir menamatkan seluruh seri komik Dragon Ball dengan komik-komik haram itu. Di swalayan, aku menyimpan susu kotak di kantong celana, chiki di balik kaos dalam, lollipop di kantong pulpen, dan es krim di balik celana dalam. Agak dingin memang, tapi kami kenyang dengan makan siang yang luar biasa itu. Bila ke mall, di departemen mainan, kami menyelipkan segala macam mainan kecil mulai dari kodok karet, mobil-mobilan, uler-uleran, sampai SPG-SPG an. Keesokan harinya di sekolah aku langsung menjelma menjadi Suneo, pamer mainan baru keteman-teman.

Walau uang jajan ku sangat sedikit aku selalu sejahtera. Gizi cukup dan mainan selalu up-date. Sindikat ini makin merajalela, apalagi bila melihat profil begundalnya yang masih tak terjangkau hukum. Maka kami berjaya paling tidak sampai kejadian itu yang membuat aku benar-benar kapok dan bertaubat nasuha.

Saat itu matahari lagi semangat-semangatnya manas-manasin bumi. Aku dan adikku yang kecil sedang dalam perjalanan menuju Graha Cijantung, sebuah mall baru di dekat komplek kopasus. Karena tak cukup uang untuk ongkos aku selalu berjalan bila main kemana-mana. Bahkan untuk ke Graha yang jauh berkilo-kilo, aku mengajak adikku jalan kaki. Setiba di mall adikku kelelahan dan ia minta dibelikan makanan dan minum. Tentu saja aku tak punya duit untuk memenuhi permintaannya maka aku putuskan untuk kembali mengutil di swalayan. Dia aku suruh tunggu di luar karena bila ikut bisa mengganggu ku bekerja.

Masuk swalayan, semua tampak normal kecuali security perempuan yang pandanganya lekat padaku. Ia tampak curiga, sedang apa anak gembel ini masuk-masuk sendiri? Mana orangtuanya? Mau belanja atau… Mungkin itu yang sedang dipikirkannya.

Insting kriminalku menyatakan ini tak aman tapi aku kadung sudah di dalam dan adikku sedang kelaparan di luar sana. Dia butuh tambahan energi atau aku harus menggendongnya pulang. Aku sembunyi di balik salah satu rak dan setelah pasti embak-embak tadi sudah beranjak dari tempatnya mengawas, akupun segera beraksi. Dengan sigap aku sambar susu kotak ukuran mini. Sekarang apa makanannya..ehm..cokelat! sumber karbo dan gula, bikin kenyang, bikin kuat lagi. Pilihanku jatuh pada coklat batangan berbungkus merah itu, pas disaku. Langsung saja ku sembunyikan dan beranjak dari situ.

Gawat! Security itu melihat aksiku. Dia sudah siap di kasir menunggu ku. Sebentar, apa dia benar-benar melihatku mengambil cokelat tadi? Sebaiknya dengan tenang aku tidak keluar lewat kasir, santai saja melenggang bagai orang yang tak jadi beli. Tepat baru keluar dari swalayan, entah dari arah mana security brengsek itu menyergap ku. Tanganku ditariknya. Kuat sekali embak ini. Wajahnya sih lumayan, tapi badannya padat berisi. Lengannya besar-besar. Pasti seret jodoh wanita ini. Adikku, melihatku diseret, berlari mengikutiku. Dia terus bertanya-tanya ada apa ini, kenapa aku digiring bak napi yang baru tertangkap lagi setelah baru berhasil kabur. Dan sialnya semua pengunjung sore itu melihatku seperti melihat maling ayam yang digiring hansip. Malu sekali. Mau ditaruh dimana mukaku, muka adikku, dan muka kedua orangtuaku?

Aku dan adikku dibawa ke sebuah pintu di salah satu sudut mall ini. Sudut yang tak menarik perhatian. Pintunya tersembunyi dan disana tertulis, “Dilarang Masuk Kecuali Petugas”. Kami memasuki sebuah ruang dengan cat serba putih, sepertinya ruang keamanan. Aku gugup sekali. Di dalam duduk seorang satpam yang tampaknya tak senang acara mengopi sorenya terusik oleh kami.

“Nih Pak, ada yang maling!” lapor embaknya seraya menggelar barang-barang bukti di atas meja; sekotak susu dan sebatang cokelat.

Satpam itu memperhatikan aku dengan seksama lalu ia membentak.

“KECIL-KECIL UDAH MALING!!”

Jantungku hampir copot dan adikku mulai menangis.

“ANAK SIAPA KAMU? MANA ORANGTUA MU?!! Bentaknya lagi.

Tangis adikku makin keras. Ia ketakutan sekali. Aku berusah tetap tenang namun sebenarnya aku juga sangat ketakutan, panik malah. Tangan kakiku bergetar semua. Aku diinterogasi oleh mereka dan tak satupun ku jawab. Ini tak adil. Aku tak didampingi pengacara dan tak diperbolehkan menelepon. Aku berhak untuk diam. Lelah teriak-teriak, akhirnya aku diberi pilihan-pilihan sulit sebagai hukuman: disetrum, ditelanjangi baru boleh pulang, atau diantarkan langsung ke rumah dan dikembalikan ke orangtua. Kau tahu Kawan, lebih baik rambutku berdiri karena anuku disetrum, atau pulang ke rumah jalan kaki, telanjang. Yang aku tak mau adalah melihat raut wajah ibuku saat mendengar anaknya tertangkap kering maling di mall, mall-nya Kopasus lagi. Aku tak ingin mengecewakan Mama lagi. Aku sudah berjanji, walau sulit ditepati seperti yang pernah ku katakan padamu kawan, tapi ini harus.

Pekak mendengar tangisan adikku dan tak ada satu katapun terucap olehku selama interogasi, akhirnya kami dibebaskan tanpa syarat. Aku bersyukur tak diteriaki orang gila karena telanjang di jalan dengan rambut jigrak habis kena setrum. Saat melepas kami si satpam meneriaki ku sekali lagi,” PULANG SANA ANAK GEMBEL! AWAS KALAU SAYA NGELIHAT KAMU DI SINI LAGI! KU SERAHKAN KAU KE POLISI !!”

Yah sejak itu hingga sekarang dan semoga sampai selamanya aku tak pernah lagi makan uang haram. Aku berjanji untuk tak pernah lagi mencuri, merampok, mencopet, menjambret, menculik, mencoret-coret tembok rumah orang, atau apapun yang berbau kriminal. Bahkan kalaupun aku jadi pejabat aku tak akan korupsi. Semoga saja.

Tidak ada komentar: