Tak ada angin tak ada ombak, saat itu aku ditimpa musibah yang membuat tulang-belulang nyilu. Orang yang paling ku cintai harus pergi untuk selamanya dan satu-satunya cara untuk bertemu lagi, aku harus menjadi hamba Tuhan yang super soleh biar masuk surga dan mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf padanya. Itu tak akan mudah mengingat kualitas iman yang terus-menerus digerus era kebebasan dari barat. Aku frustrasi dan jadi tak khusyuk mengikuti kuliah. Tanpa banyak cincong, salah satu dosen yang terganggu dengan performaku dalam kelas menghadiahkan ‘D’. Bingkisan manis itu, bersama kawan-kawannya, gerombolan nilai ‘C’, bersekongkol tak memberi ku kesempatan mengambil mata kuliah “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” tepat pada waktunya. Walhasil, aku, yang juga tak pernah mengambil semester pendek karena seluruh liburan panjang dipakai untuk mudik, tergopoh-gopoh menyusul semua mata kuliah yang terlambat.
Nasi sudah jadi bubur dan mie telah lodoh, semester ke delapan aku tak boleh mengambil skripsi padahal jatah sks mencukupi. Aku tak dapat bergelut dengan skripsi sebelum mata kuliah “Analisa Wacana” dan “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” jilid dua khatam. Ini semua kesalahanku dan tak ada alasan menyalahkan orang lain. Hanya saja hati ini jadi tak enak sama Papa, andai Mama masih ada, pasti juga sudah panjang ceramahnya. Mama selalu ingin aku jadi sarjana. Sarjana tepat waktu kalau bisa, yang langsung angkat kaki dari kampus setelah empat tahun. Dengan semua rasa bersalah dipundak aku menghadap ke pusaranya untuk meminta maaf dan dalam pelukan sepi, dalam tenangnya sore di komplek pemakaman, aku terdiam seribu bahasa, sejuta kalimat, dan bermiliar kata menekuri omelan Mama yang dongkol dengan anaknya yang pemalas. Namun setelah semua terlampiaskan, Mama mengusap rambutku sebagaimana selalu ia lakukan kala masih di dunia. Beliau lalu membujuk dan memaklumi ku. Mamaku memang orang yang paling pengertian.
“Tapi awas ya kalau telat lagi sampai setahun !!” ancamnya seraya tersenyum. Aku balas tersenyum lalu menangis dan Mama memelukku.
Omelan itu, senyum itu, tangisku itu, dan pelukannya yang menenangkan itu, semua itu hanya dalam benak saja. Saat membuka mata, Mama tak ada disitu. Aku masih bersimpuh di depan pusaranya yang berkeramik hijau. Anak-anak disana masih sibuk dengan layangannya. Ibu-ibu dibawah itu masih asyik bergosip. Ketenangan di pemakaman tak terusik, benar-benar tempat yang nyaman untuk mati. Dengan langkah berat aku tinggalkan Mama. Aku tahu ia tak sendirian disana. Allah Yang Baik pasti menemaninya atau paling tidak mengutus teman yang menyenangkan untuknya. Aku harus bangkit lagi, tak boleh terlambat lagi, apalagi sampai setahun, bisa-bisa diomeli lagi sama Mama.
Hidupku tiba-tiba berasa seperti filem action. Beberapa bulan yang lampau aku dapat ‘D’ untuk “Analisa Wacana” atau bahasa Padangnya, Discourse Analysis. Subjek itulah biang kerok keterlambatan kuliahku dan aku harus menghapus huruf sialan itu dari kartu hasil studi nanti, maka untuk semester ini Discourse Analysis (DA) ku pinang. Ini adalah ronde kedua dimana dendam harus dibalas dan yang membuat filem ini semakin menegangkan, ternyata dosen mata kuliah itu adalah orang yang sama dengan dosen DA dulu, orang yang sama yang memberikan nilai Dodol padaku. Tapi kali ini dia akan mendapatkan mahasiswa yang berbeda, mahasiswa yang penuh semangat ’45. Dosen itu tak akan menemukan alasan untuk men-’D’ kan aku lagi.
Untuk “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis”, aku bertemu dengan dosen laki-laki gaek yang agak unik. Telah lama ku dengar kabar burung bahwa dia agak ‘lebih perhatian’ dengan mahasiswa laki-laki. Aku tidak terlalu mengerti atau pura-pura tak mengerti maksudnya apa, yang pasti, hal itu cukup menguntungkan di pihakku. Biarlah menerima pelecehan seksual asal ‘B’sudah di tangan.
Burung-burung itu tak membawa kabar bohong. Dosen itu memang lebih perhatian kepada mahasiswa ketimbang mahasiswi. Kadang-kadang perhatiannya berlebihan. Satu semester aku dan rekan-rekan sekelasku yang cowok jadi bulan-bulanan cengan karena digodain dosen. Kalau dosennya tante-tante sih tak masalah, ini kakek-kakek. Biarlah begitu toh aku tak perlu sibuk-sibuk mengejar nilai ‘A’. Absensi ku jaga. Kalau ditanya dalam kelas ku jawab sebisaku dan sehemat mungkin. Aku juga tetap habis-habisan mengerjakan tugas, apalagi presentasi. Berbeda dengan di kelas DA, aku tidak bisa setengah-setengah. Dosen kelas ini adalah dosen senior. Seorang wanita yang telah berumur namun masih tampak fresh dan bersemangat. Beliau sangat cerdas dan-di luar mendok Jawanya yang kental-bahasa Inggrisnya sempurna. Dosen ini sangat perfeksionis dan aktif. Di kelas, beliau akan dengan senang hati bermonolog. Berkali-kali beliau menghimbau kami untuk juga aktif. Beliau juga berjanji tak akan banyak respon saat kami presentasi. Namun pertemuan berikutnya beliau kembali ber-was wes wos ria. Dosen tipe ini mudah ditebak perangainya. Dia akan sangat menghargai mahasiswa yang berani menghadapinya secara terbuka dengan banyak merespon dalam kelas. Kita juga harus talkative. Mahasiswa yang diam saja sepanjang semester seperti orang sakit gigi tak kena di hatinya. Kalau di kelasnya dulu aku menerapkan “silent is gold”, kali ini aku menerapkan “silent is goat”. Untuk mengikuti gaya mengajarnya aku harus lebih banyak membaca dan memahami isi kuliah. Aku tak bisa asal bicara di depannya. Inti masalah yang sedang dia bahas harus dimengerti matang-matang dulu. Bicara asal-mana keras-keras lagi-di tengah forum pendidikan yang terhormat ini adalah bunuh diri. Tampaknya beliau terpukau dengan penampilanku yang cukup memukau dalam kelas. Sampai pernah suatu hari, langit mendung membuat penyakit malasku kambuh. Bersegera aku minta izin pada sang dosen untuk tidak menghadiri kelas DA hari itu dengan alasan sakit. Beliau mengizinkan namun berkata bahwa beliau sebenarnya berharap aku masuk karena feedback dariku sangat dibutuhkan dalam kegiatan perkuliahan di kelas kami. Hanya aku yang cukup mampu mengimbangi gaya perkuliahannya.
Akhrinya air susu dibalas madu. Perjuangan ku tak sia-sia. Di kedua mata kuliah itu dengan dosen-dosen seniornya yang bahkan ketua jurusan tak bisa macam-macam dengan mereka, aku mendapatkan ‘A’. Dan karena hanya dua MK saja yang ku ambil, semester ini aku dianugerahi IP ‘4’. Kini aku siap untuk skripsi walau telat !