Jumat, 30 Juli 2010

Air Susu Dibalas Madu

Beberapa hari terakhir ini dan kemungkinan beberapa hari kedepan aku akan semakin intim dengan profesi baruku, PENGACARA (Pengangguran Gak Ada Acara). Gara-gara kelalaian masa muda, aku telat jadi sarjana. Jadi saat teman-teman seangkatan berjibaku dengan sidang, revisi, toga, wisuda, dan liburan, aku terbenam sendiri di rumah. Aku ingin mengistirahatkan otak sebelum menghadapi skripsi semester depan, maka liburan ini aku putuskan untuk tak menyentuh buku-buku dulu. Aku juga sudah mengirim beberapa surat lamaran kerja, maka aku harus menunggu panggilan interview yang ternyata membosankan. Kenapa membosankan? Karena duit kurang sehingga tak bisa jalan-jalan. Belum lagi Jakarta sedang macet-macetnya dan motor yang semakin menua, dibawa jalan jauh sedikit batuk-batuk. Namun kenapa aku jadi telat begitu kuliahnya sampai ditinggal teman-teman seangkatan sidang? Apa Kau benar-benar ingin tahu Kawan? Ah, Kau memang selalu ingin tahu saja urusan orang. Ya sudahlah ku beritahu saja. Pasang telingamu baik-baik. Akan aku ceritakan. Kalau kau tak menyimak benar-benar dan ada yang terlewat, tak mau aku mengulang bercerita. Paham?
Tak ada angin tak ada ombak, saat itu aku ditimpa musibah yang membuat tulang-belulang nyilu. Orang yang paling ku cintai harus pergi untuk selamanya dan satu-satunya cara untuk bertemu lagi, aku harus menjadi hamba Tuhan yang super soleh biar masuk surga dan mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf padanya. Itu tak akan mudah mengingat kualitas iman yang terus-menerus digerus era kebebasan dari barat. Aku frustrasi dan jadi tak khusyuk mengikuti kuliah. Tanpa banyak cincong, salah satu dosen yang terganggu dengan performaku dalam kelas menghadiahkan ‘D’. Bingkisan manis itu, bersama kawan-kawannya, gerombolan nilai ‘C’, bersekongkol tak memberi ku kesempatan mengambil mata kuliah “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” tepat pada waktunya. Walhasil, aku, yang juga tak pernah mengambil semester pendek karena seluruh liburan panjang dipakai untuk mudik, tergopoh-gopoh menyusul semua mata kuliah yang terlambat.
Nasi sudah jadi bubur dan mie telah lodoh, semester ke delapan aku tak boleh mengambil skripsi padahal jatah sks mencukupi. Aku tak dapat bergelut dengan skripsi sebelum mata kuliah “Analisa Wacana” dan “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” jilid dua khatam. Ini semua kesalahanku dan tak ada alasan menyalahkan orang lain. Hanya saja hati ini jadi tak enak sama Papa, andai Mama masih ada, pasti juga sudah panjang ceramahnya. Mama selalu ingin aku jadi sarjana. Sarjana tepat waktu kalau bisa, yang langsung angkat kaki dari kampus setelah empat tahun. Dengan semua rasa bersalah dipundak aku menghadap ke pusaranya untuk meminta maaf dan dalam pelukan sepi, dalam tenangnya sore di komplek pemakaman, aku terdiam seribu bahasa, sejuta kalimat, dan bermiliar kata menekuri omelan Mama yang dongkol dengan anaknya yang pemalas. Namun setelah semua terlampiaskan, Mama mengusap rambutku sebagaimana selalu ia lakukan kala masih di dunia. Beliau lalu membujuk dan memaklumi ku. Mamaku memang orang yang paling pengertian.
“Tapi awas ya kalau telat lagi sampai setahun !!” ancamnya seraya tersenyum. Aku balas tersenyum lalu menangis dan Mama memelukku.
Omelan itu, senyum itu, tangisku itu, dan pelukannya yang menenangkan itu, semua itu hanya dalam benak saja. Saat membuka mata, Mama tak ada disitu. Aku masih bersimpuh di depan pusaranya yang berkeramik hijau. Anak-anak disana masih sibuk dengan layangannya. Ibu-ibu dibawah itu masih asyik bergosip. Ketenangan di pemakaman tak terusik, benar-benar tempat yang nyaman untuk mati. Dengan langkah berat aku tinggalkan Mama. Aku tahu ia tak sendirian disana. Allah Yang Baik pasti menemaninya atau paling tidak mengutus teman yang menyenangkan untuknya. Aku harus bangkit lagi, tak boleh terlambat lagi, apalagi sampai setahun, bisa-bisa diomeli lagi sama Mama.
Hidupku tiba-tiba berasa seperti filem action. Beberapa bulan yang lampau aku dapat ‘D’ untuk “Analisa Wacana” atau bahasa Padangnya, Discourse Analysis. Subjek itulah biang kerok keterlambatan kuliahku dan aku harus menghapus huruf sialan itu dari kartu hasil studi nanti, maka untuk semester ini Discourse Analysis (DA) ku pinang. Ini adalah ronde kedua dimana dendam harus dibalas dan yang membuat filem ini semakin menegangkan, ternyata dosen mata kuliah itu adalah orang yang sama dengan dosen DA dulu, orang yang sama yang memberikan nilai Dodol padaku. Tapi kali ini dia akan mendapatkan mahasiswa yang berbeda, mahasiswa yang penuh semangat ’45. Dosen itu tak akan menemukan alasan untuk men-’D’ kan aku lagi.
Untuk “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis”, aku bertemu dengan dosen laki-laki gaek yang agak unik. Telah lama ku dengar kabar burung bahwa dia agak ‘lebih perhatian’ dengan mahasiswa laki-laki. Aku tidak terlalu mengerti atau pura-pura tak mengerti maksudnya apa, yang pasti, hal itu cukup menguntungkan di pihakku. Biarlah menerima pelecehan seksual asal ‘B’sudah di tangan.
Burung-burung itu tak membawa kabar bohong. Dosen itu memang lebih perhatian kepada mahasiswa ketimbang mahasiswi. Kadang-kadang perhatiannya berlebihan. Satu semester aku dan rekan-rekan sekelasku yang cowok jadi bulan-bulanan cengan karena digodain dosen. Kalau dosennya tante-tante sih tak masalah, ini kakek-kakek. Biarlah begitu toh aku tak perlu sibuk-sibuk mengejar nilai ‘A’. Absensi ku jaga. Kalau ditanya dalam kelas ku jawab sebisaku dan sehemat mungkin. Aku juga tetap habis-habisan mengerjakan tugas, apalagi presentasi. Berbeda dengan di kelas DA, aku tidak bisa setengah-setengah. Dosen kelas ini adalah dosen senior. Seorang wanita yang telah berumur namun masih tampak fresh dan bersemangat. Beliau sangat cerdas dan-di luar mendok Jawanya yang kental-bahasa Inggrisnya sempurna. Dosen ini sangat perfeksionis dan aktif. Di kelas, beliau akan dengan senang hati bermonolog. Berkali-kali beliau menghimbau kami untuk juga aktif. Beliau juga berjanji tak akan banyak respon saat kami presentasi. Namun pertemuan berikutnya beliau kembali ber-was wes wos ria. Dosen tipe ini mudah ditebak perangainya. Dia akan sangat menghargai mahasiswa yang berani menghadapinya secara terbuka dengan banyak merespon dalam kelas. Kita juga harus talkative. Mahasiswa yang diam saja sepanjang semester seperti orang sakit gigi tak kena di hatinya. Kalau di kelasnya dulu aku menerapkan “silent is gold”, kali ini aku menerapkan “silent is goat”. Untuk mengikuti gaya mengajarnya aku harus lebih banyak membaca dan memahami isi kuliah. Aku tak bisa asal bicara di depannya. Inti masalah yang sedang dia bahas harus dimengerti matang-matang dulu. Bicara asal-mana keras-keras lagi-di tengah forum pendidikan yang terhormat ini adalah bunuh diri. Tampaknya beliau terpukau dengan penampilanku yang cukup memukau dalam kelas. Sampai pernah suatu hari, langit mendung membuat penyakit malasku kambuh. Bersegera aku minta izin pada sang dosen untuk tidak menghadiri kelas DA hari itu dengan alasan sakit. Beliau mengizinkan namun berkata bahwa beliau sebenarnya berharap aku masuk karena feedback dariku sangat dibutuhkan dalam kegiatan perkuliahan di kelas kami. Hanya aku yang cukup mampu mengimbangi gaya perkuliahannya.
Akhrinya air susu dibalas madu. Perjuangan ku tak sia-sia. Di kedua mata kuliah itu dengan dosen-dosen seniornya yang bahkan ketua jurusan tak bisa macam-macam dengan mereka, aku mendapatkan ‘A’. Dan karena hanya dua MK saja yang ku ambil, semester ini aku dianugerahi IP ‘4’. Kini aku siap untuk skripsi walau telat !

Jumat, 16 Juli 2010

Belajar Hidup


Mario Teguh, Motivator kondang yang humoris itu, pernah sekali berkata "Tak perlu mahir dulu untuk menjalani sebuah jabatan. Lakukan saja dan belajarlah saat menjalankannya." Tentu saja kalimat itu benar tapi tentu tak cocok diterapkan oleh para calon pilot. Mereka harus mahir dulu baru boleh menerbangkan pesawat kalau tidak, bisa kacau nanti.

Begitu juga hidup. Anda pikir ada manusia yang langsung mahir untuk hidup dulu baru diturunkan ke dunia? Tak ada. Semua orang terlahir sebagai bayi yang lemah dan bodoh. Kita belajar tentang kehidupan dan bagaimana untuk hidup langsung sambil menjalani kehidupan itu sendiri.

Aku sendiri merasa belum siap untuk diterjunkan ke dunia. Aku pun takut tak akan pernah siap. Hidup ini terlalu keras pada ku dan keadilan terasa bagaikan hanyalah fatamorgana. Aku merasa tak mendapatkan apa yang orang-orang lain dapatkan. Kelemahanku memang, jarang melihat ke bawah. Aku hanya sering melihat ke atas namun aku tetap tak rela.

Aku berusaha untuk menjalani hidup seperti sebagaimana seharusnya. Aku ingin mendisiplinkan diri dan tak banyak mengeluh. Namun ternyata itu sulit sekali. Hidup tak pernah mudah untuk ku. Sering sekali aku terjatuh, lalai, lupa, muak, dan dikuasai rasa malas dan kebosanan. Tiap kali aku gagal dan terjatuh, aku berjanji lagi untuk hidup lebih baik. Ku tunggu momentum yang terbaik untuk memulai namun tak lama kemudian aku terjatuh lagi. Aku merasa belum juga memulai hidupku yang sesungguhnya. Dua Puluh tahun lebih sudah ku lalui terasa sia-sia. Aku merasa belum melakukan apa-apa. Dua puluh tahun lebih sudah dan aku masih baru belajar untuk hidup dan mencari tahu untuk apa aku hidup. Naif memang bila aku merasa sendirian karena semua orang di usia ini juga mengalami hal yang sama, mencari jati diri dan mencari tahu apa yang akan dilakukan di kehidupannya ke depan. Tapi aku tetap merasa sendirian. Aku merasa orang-orang sudah memulai kehidupannya dan aku masih berdiri di belakang terpukau dengan kemajuan mereka.

Setelah ku renungkan, kenapa aku seperti ini? Mario Teguh menyadarkan aku bahwa tak perlu menunggu mahir dulu untuk hidup. Jalani saja hidup dan belajarlah di dalamnya karena salah satu esensi kehidupan sesungguhnya adalah belajar. Nabi Muhammad SAW yang sangat inspiratif itu pernah berkata "Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat", termasuk juga belajar untuk hidup. Kita harus terus belajar tanpa henti sepanjang hidup ini. Kita tak akan pernah mahir sempurna dalam hal menjalani kehidupan meski kita sudah berumur 40-an di masa-masa mapan. Kita akan selalu terjatuh, selalu salah dan gagal karena kita memang tak akan pernah berubah banyak dari keadaan saat kita terlahir, lemah dan bodoh. Hidup sudah dimulai dari tangisan pertama kita. Memang hidup yang kita lalui sering tak sesuai dengan harapan dan tak memuaskan. Namun itulah hidup. Jadikan masa lalu pelajaran berharga bukan jadi penyesalan sehingga kita merasa sia-sia melanjutkan kehidupan selanjutnya. Lakukan saja yang terbaik, saat ini, di tempat kita berdiri. Tautkan cita-cita dan mimpi-mimpi tertinggi yang bisa kita impikan dan bersiaplah untuk terjatuh kembali. Tapi selalu ingatlah untuk bangkit lagi setiap kali terjatuh dan jangan mengulur-ngulur waktu, jangan menunggu momentum terbaik sehingga kita menunda untuk bangkit kembali. Waktu itu sangat berharga, modal utama kita yang takkan tergantikan maka tiap detik dan tiap helaan nafas kita adalah momentum terbaik yang kita miliki.

Seperti kata Bapak Mario, Kemenangan dan Kekalahan adalah bagaikan dua sisi mata uang. Bila kita menjauhi kekalahan, itu berarti kita menjauhi kemenangan. Pepatah terkenal berbunyi "kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda". Kegagalan merupakan proses menuju kemenangan dan sekali engkau berhasil menang, itu sudah cukup mengganti seribu kegagalanmu. Jangan takut pada kegagalan karena tak akan pernah ada orang yang meneguk nikmatnya surga tanpa merasakan pedihnya kematian.

Saat aku terbangun pagi ini, aku menyimak lagu d'Masiv yang berjudul "Jangan Menyerah". Judulnya, liriknya, video klipnya, nada dan melodi lagunya, serta bandnya itu sendiri sangat inspiratif. Aku tersadar bahwa semua manusia sama, tak ada yang terlahir sempurna dan semua mendapatkan cobaan yang sangat berat sehingga kadang membuat kita terjatuh begitu dalam, begitu putus asa, dan membuat kita merasa seakan hidup ini tak ada artinya lagi. Kita kadang jadi malas melanjutkan hidup dan tak bergairah menjalaninya. Seorang kawan, Bernand, dalam "kesan dan pesan" di buku tahunan pernah menyentil orang-orang seperti aku. Ia berkata "Ada orang yang hidup karena ia memang ingin hidup, ada juga orang-orang yang hidup hanya karena ia belum bisa mati." Meski aku tak respect sama orang angkuh itu, namun kata-katanya begitu ku ingat hingga kini. Aku tak ingin jadi orang yang hidup karena dipermainkan takdir atau nasib. Aku tak ingin hidup hanya karena aku belum bisa mati. Aku tak ingin hidupku hanya berisi penantian kematian. Aku ingin menahlukkan kehidupan dan benar-benar menyentuh mimpi-mimpi yang ku gantungkan di bintang-bintang yang berserakan di langit nun jauh disana. Kehidupan ini adalah anugerah yang didapatkan karena memang aku ingin hidup. Harus syukuri hidup ini dengan segala apa yang aku punya. Berangkat dari apa yang ada, di tempat aku berdiri saat itu juga tanpa menunda-nunda, akan ku lakukan yang terbaik dalam menjalani hidup ini. Aku pun harus bersabar dan menjadi orang yang tak kenal putus asa agar aku berhak atas petunjuk Tuhan. Bantu aku Allah.


Jangan Menyerah..
Jangan Menyerah..
Jangan Menyerah..