Apa lagi yang diocehkan Pak Djalal ini? Saat ini aku benar-banar sedang tak bisa diajak berdamai. Napas ku masih ngap-ngapan ditingkahi jantung yang berdetak terburu-buru. Tadi aku tertinggal oleh teman-teman ku bersepeda. Kami bersepeda menuju rumah Pak Djalal di Jl Lestari agak dalam sedikit. Pak Djalal memberi sedikit les tambahan di bidang matematika supaya murid-mudidnya makin siap menghadapi ujian akhir. Hebat benar orang tua itu, dia sebenarnya guru agama tapi tak disangka juga piawai mengajar ilmu berhitung.
Seperti biasa sore ini kami berkumpul dulu di sekolah kami, SDN 01 Cijantung pagi, lalu beramai-ramai menuju rumah guru agama–matematika itu dengan sepeda masing-masing. Dengan status yang sudah kelas enam ini seharusnya kami memang mengendarai sepeda buat anak kelas enam, sepeda yang agak tinggi seperti sepeda gunung atau sepeda BMX yang bisa buat atraksi. Hanya aku, ya hanya aku yang masih mengendarai sepeda kecil, sepeda yang sama yang aku dapatkan saat TK dulu. Sepeda roda empat–ada dua tambahan roda kecil di pelek belakang–yang tak lain adalah sepeda pertama ku. Kendaraan yang aku pakai untuk belajar berkendara. Tentu saja agak memalukan dan sebagai sepeda mini tentu aku takkan sanggup jangankan untuk membalap sepeda teman-temanku, bahkan untuk menyusul mereka saja mustahil.
Saat memasuki gapura Jl. Lestari teman-teman ku itu berhenti sejenak demi menunggu ku. Ada mungkin lima belas menit kemudian mereka baru bisa melihat aku yang tergopoh-gopoh mengayuh sepeda bermerek Lion itu di kejauhan. Demi melihat aku lalu mereka langsung ramai-ramai kembali ke sepeda masing-masing dan tancap gas lagi meninggalkan ku sambil tertawa puas. Kiranya mereka hanya ingin melihat wajah menyedihkan ku keletihan menyusul mereka. Aku hanya disisakan debu. Menyebalkan !
Sesampai di rumah Pak Djalal, sepeda-sepeda brengsek itu sudah terpakir rapih di beranda. Aku tak banyak membuang waktu hanya menggelatakkan si Lion itu begitu saja dan segera berlari ke lantai atas ruang kelas les kami. Begitu melihat batang hidung ku yang mancung ini Pak Djalal langsung mendamprat ku karena hanya aku yang telat. Aku jadi tak fokus dengan pelajaran yang disampaikan Pak Djalal sore itu.
Biar kata bukan kegiatan belajar mengajar konvensional, les tambahan dari Pak Djalal ini juga ada jam istirahatnya lho. Saat istirahat kami biasanya jalan-jalan ke bukit-bukit dibelakang rumah si bapak. Bukit-bukit itu biasa dipakai sebagai area latihan Kopasus, namun saat absent latihan jadilah wilayah itu menjadi taman bermain bagi anak-anak kampung. Ada yang main layangan, melepas burung dara, ada yang bermain bola, ada juga yang ber motocross ria dengan sepeda seperti kami. Anehnya, walau sepedaku yang paling menyedihkan diantara sepeda-sepeda lain di armada kami dan teman-teman ku selalu bersemangat untuk mengata-ngatai nya, yah koq cuma sepeda ku yang selalu jadi rebutan untuk ber motocross ria, bukannya BMX-BMX itu yang sering diklaim sepeda yang pas buat aksi, ngetril sana ngetril sini, atau sepeda gunung itu yang selalu digadang-gadangkan jangankan bukit-bukit rendah itu, gunung pun mampu digagahinya ya sesuai namanya, sepeda gunung. Sepeda ku dipinjam bergantian oleh para begundal itu bahkan aku saja tak kebagian giliran. Dan yang paling menyebalkan, sudahlah mereka perkosa asal-asalan, sepeda ku tetap saja mereka hina. Keterlaluan sekali !!
Sepulangnya aku menggenjot sepeda dengan hati hancur. Tak cuma sekali aku dan sepedaku diperlakukan se-enaknya seperti ini. Tak selayaknya anak seusia ku harus menahan sabar seperti itu. Aku jarang merengek-rengek meminta ini itu kepada orangtuaku tapi aku rasa kali ini aku berhak untuk menagih mereka. Aku muak dihina-dina seperti itu. Esok sore aku mencoba dekati papa. Mendekati beliau seperti mendekati presiden, harus hati-hati dan menjaga sikap. Setiap minggu sore papa biasa bersantai di ruang tamu sambil membaca buku atau koran, ditemani segelas kopi hitam. Suasana seperti itu pasti membuatnya sangat relax, maka aku rasa beliau takkan marah kalau aku ganggu sedikit. Lalu segera saja aku utarakan maksudku padanya agar dibelikan sepeda baru, sepeda yang agak besar yang cocok dengan ku.
“Bukannya Papa gak mikirin itu Sayang, tapi kan bisa nanti kalau ada duitnya..”
Beberapa hari kemudian aku meminta lagi dan jawabannya kurang lebih sama. Minggu depannya aku mengkonfirmasi perihal proposal sepeda baru maka jawabannya tak beda cuma sekarang dengan nada agak terganggu.
“ehm...baiklah !!”
Maka sejak itu sampai saat ini, kalau tidak terlalu mendesak sekali, aku takkan pernah meminta apapun pada orangtua! Aku tidak lagi memikirkan tentang si sepeda, biarlah aku jadi bahan hinaan di sekolah dari pada harus dicoret dari kartu keluarga. Namun sampai di suatu sore yang syahdu aku menemukan sebuah sepeda terparkir angkuh di depan sebuah bengkel. Dia memang barang bekas saja tak terlalu tinggi seperti sepeda gunung, mirip BMX cuma ya KW delapan belas lah.
“Lima puluh ribu aja nih Tong! Keren kan !” promosi si abang bengkel. Wah aku tergiur sekali cuma tersedak saat mendengar harganya. Lima puluh ribu itu bukan uang sedikit buat anak sekecil ku, tak pernah aku mengantonginya. Kalau aku menabung, itu berarti tak jajan di sekolah selama hampir dua bulan. Si sepeda sesekali saja melirik ku lalu kembali mendongak tak perduli.
“Kau kira murah mendapatkan ku dasar anak udik !!
Sepanjang jalan pulang aku berpikir keras bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Kalaupun harus menabung si sepeda pasti sudah lama terjual saat uangnya terkumpul. Apa aku harus pinjam ke BANK? Ehm…tapi apa nanti tak ditertawakan??
Setibanya di rumah ku dapati semua orang sedang pergi. Adik-adikku mungkin sedang mengaji. Mama mungkin sedang main ke rumah tetangga dan papa sudah pasti masih ngantor. Tiba-tiba aku mematung melihat tas mama di atas meja makan. Resletingnya terbuka. Pasti dompet mama ada di dalamnya dan pasti juga ada selembar limapuluh ribu terselip disana.
“Lalu memangnya kenapa??”
“yah gak kenapa-napa. Cuma kan katanya lagi butuh duit kertas bergambar wajah Pak Presiden itu..”
“Yah kan harus minta Mama dulu..”
“emang bakal dikasih??”
“yah..enggak bakalan juga sih..”
“mending ambil dulu. Nanti kalau udah jadi sepeda itu duit, baru bilang. Jadikan mau tak mau yah Mama harus nerima..gimana??”
“tuh namanya nyuri dong…dosa mencuri tuh berganjar menginap di neraka sampai karatan !!”
“ah itu kan teori…kan bisa taubat. Asal kau tau yah, Tuhan itu Maha Pengasih !!”
“ehm…”
“Lagian kan kau masih kecil, belum baligh dan masih dibawah umur. Dosamu belum diperhitungkan, polisi saja tak bisa menindak mu.”
Aku berlari secepat mungkin menuju bengkel tadi. Selembar lima puluh ribu terselip pasrah di kantong celanaku dan tak lama kemudian BMX kodian yang durjana itu pun tahluk di bawah otak kriminalku. Dia manggut saja aku tunggangi.
“Hah…mana lagak mu tadi sepeda sombong? Sekarang siapa yang udik??” aku tertawa menang dan si sepeda diam saja menyesali dosa yang baru saja ku perbuat.
“…sepeda siapa Nja?” tanya adikku yang baru pulang mengaji.
“..sepeda temen..” jawabku cuek.
Seminggu sudah dan si sepeda masih nangkring di teras rumah. Aku mulai malas mengendarainya. Perasaan bersalah selalu meneror ku sejak hari itu. Orang rumah juga mulai bertanya-tanya. Mana ada anak SD meminjamkan temannya sepeda sampai seminggu? Papa mama juga mulai curiga berhubung mereka baru kehilangan lima puluh ribu dan tak tahu raib kemana.
Layaknya di magrib-magrib sebelumnya, Mama membaca Al-Quran tiap habis shalat. Seperti selalu, bila beliau mengaji, lekukan tajwidnya yang terlatih itu akan membuat semua terdiam. Apa yang sedang dikerjakan dihentikan. Apa yang sedang dipegang dilepaskan.
Seusai mengaji beliau memanggil ku. Tak seperti biasanya kali ini wajahnya serius. Aku duduk di sampingnya, pundak kiriku digenggamnya dengan kuat. Tatapannya membuat ku jadi serba tak enak. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia sedang menyelidiki sesuatu. Beliau pasti sudah menyadari kalau anak lelaki pertamanya ini sudah tak lugu lagi. Bisikan shaitan sudah bekerja di otak kecil anak ini.
“Uja tahu? Mama punya teman yang mengajinya lebih faseh dari Mama. Dia sakti. Dia bisa menerawang kejadian-kejadian yang lalu. Dia menyaksikannya dari halaman-halaman Al-Quran ini. Mama berencana menanyakan soal hilangnya uang Mama yang lima puluh ribu itu.” dadaku berat.
“…sebenarnya Mama udah ikhlas-in uang itu tapi Mama penasaran. Apa lagi setiap ngeliat sepeda teman Uja itu… Mama hanya takut kalau-kalau apa yang dilihat teman Mama itu nanti mengecewakan Mama..” sekarang jantungku yang berat.
“Apa ada yang mau Uja bilang ke Mama soal sepeda itu?...”
Tiba-tiba ini menjadi magrib terpanjang yang pernah ku alami. Aku berharap azan isya cepat-cepat berkumandang supaya pertanyaan itu tak perlu ku jawab.
Tatapan Mama makin lekat menjebak ku. Berkali-kali aku buang muka tak berhasil. Perasaan bersalah makin leluasa meneror ku memompa seluruh air di tubuhku menuju kantong mata dan aku mulai menangis. Tubuhku bergetar di hadapan Mama dan aku paksakan lidahku yang kelu untuk mulai bicara. Aku akui semuanya, aku ceritakan semuanya dan raut wajah Mama tak berubah, tatapannya makin tajam.
“Maafin Uja Ma, Uja nyesel…”
Mendengarnya, senyum Mama terbit. Beliau memelukku erat-erat.
“iya Mama maafin. Mama seneng Uja mengakuinya dan minta maaf. Mama harap Uja ngerti kesalahan Uja dan gak bakal mengulanginya lagi. Dosa...” aku terisak-isak mendengarnya.
“Mama udah ikhlas-in lima puluh ribunya. Lagian itu juga buat sepeda Uja juga kan. Mama gak bakal cerita ke siapa-siapa. Ini semua kita aja yang tahu. Maafin Mama yang gak juga beliin sepeda baru buat Uja padahal Uja udah lama minta. Maafin Mama..”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Semua ini cukup untuk membuat tubuhku lunglai. Semua persendian terasa copot, aku bagai tak bertulang. Tubuhku letih dan pasrah di pelukan mamaku. Air mata ini melarutkan semua kebodohan-kebodohanku yang telah mengecewakan orang yang paling aku cintai, orang yang paling mencintai dan mengerti aku. Maafkan aku Ma, Uja akan berusaha tak akan kecewakan Mama lagi. Janji yang sulit sekali untuk ditebus tapi harus.
Seperti biasa sore ini kami berkumpul dulu di sekolah kami, SDN 01 Cijantung pagi, lalu beramai-ramai menuju rumah guru agama–matematika itu dengan sepeda masing-masing. Dengan status yang sudah kelas enam ini seharusnya kami memang mengendarai sepeda buat anak kelas enam, sepeda yang agak tinggi seperti sepeda gunung atau sepeda BMX yang bisa buat atraksi. Hanya aku, ya hanya aku yang masih mengendarai sepeda kecil, sepeda yang sama yang aku dapatkan saat TK dulu. Sepeda roda empat–ada dua tambahan roda kecil di pelek belakang–yang tak lain adalah sepeda pertama ku. Kendaraan yang aku pakai untuk belajar berkendara. Tentu saja agak memalukan dan sebagai sepeda mini tentu aku takkan sanggup jangankan untuk membalap sepeda teman-temanku, bahkan untuk menyusul mereka saja mustahil.
Saat memasuki gapura Jl. Lestari teman-teman ku itu berhenti sejenak demi menunggu ku. Ada mungkin lima belas menit kemudian mereka baru bisa melihat aku yang tergopoh-gopoh mengayuh sepeda bermerek Lion itu di kejauhan. Demi melihat aku lalu mereka langsung ramai-ramai kembali ke sepeda masing-masing dan tancap gas lagi meninggalkan ku sambil tertawa puas. Kiranya mereka hanya ingin melihat wajah menyedihkan ku keletihan menyusul mereka. Aku hanya disisakan debu. Menyebalkan !
Sesampai di rumah Pak Djalal, sepeda-sepeda brengsek itu sudah terpakir rapih di beranda. Aku tak banyak membuang waktu hanya menggelatakkan si Lion itu begitu saja dan segera berlari ke lantai atas ruang kelas les kami. Begitu melihat batang hidung ku yang mancung ini Pak Djalal langsung mendamprat ku karena hanya aku yang telat. Aku jadi tak fokus dengan pelajaran yang disampaikan Pak Djalal sore itu.
Biar kata bukan kegiatan belajar mengajar konvensional, les tambahan dari Pak Djalal ini juga ada jam istirahatnya lho. Saat istirahat kami biasanya jalan-jalan ke bukit-bukit dibelakang rumah si bapak. Bukit-bukit itu biasa dipakai sebagai area latihan Kopasus, namun saat absent latihan jadilah wilayah itu menjadi taman bermain bagi anak-anak kampung. Ada yang main layangan, melepas burung dara, ada yang bermain bola, ada juga yang ber motocross ria dengan sepeda seperti kami. Anehnya, walau sepedaku yang paling menyedihkan diantara sepeda-sepeda lain di armada kami dan teman-teman ku selalu bersemangat untuk mengata-ngatai nya, yah koq cuma sepeda ku yang selalu jadi rebutan untuk ber motocross ria, bukannya BMX-BMX itu yang sering diklaim sepeda yang pas buat aksi, ngetril sana ngetril sini, atau sepeda gunung itu yang selalu digadang-gadangkan jangankan bukit-bukit rendah itu, gunung pun mampu digagahinya ya sesuai namanya, sepeda gunung. Sepeda ku dipinjam bergantian oleh para begundal itu bahkan aku saja tak kebagian giliran. Dan yang paling menyebalkan, sudahlah mereka perkosa asal-asalan, sepeda ku tetap saja mereka hina. Keterlaluan sekali !!
Sepulangnya aku menggenjot sepeda dengan hati hancur. Tak cuma sekali aku dan sepedaku diperlakukan se-enaknya seperti ini. Tak selayaknya anak seusia ku harus menahan sabar seperti itu. Aku jarang merengek-rengek meminta ini itu kepada orangtuaku tapi aku rasa kali ini aku berhak untuk menagih mereka. Aku muak dihina-dina seperti itu. Esok sore aku mencoba dekati papa. Mendekati beliau seperti mendekati presiden, harus hati-hati dan menjaga sikap. Setiap minggu sore papa biasa bersantai di ruang tamu sambil membaca buku atau koran, ditemani segelas kopi hitam. Suasana seperti itu pasti membuatnya sangat relax, maka aku rasa beliau takkan marah kalau aku ganggu sedikit. Lalu segera saja aku utarakan maksudku padanya agar dibelikan sepeda baru, sepeda yang agak besar yang cocok dengan ku.
“Bukannya Papa gak mikirin itu Sayang, tapi kan bisa nanti kalau ada duitnya..”
Beberapa hari kemudian aku meminta lagi dan jawabannya kurang lebih sama. Minggu depannya aku mengkonfirmasi perihal proposal sepeda baru maka jawabannya tak beda cuma sekarang dengan nada agak terganggu.
“ehm...baiklah !!”
Maka sejak itu sampai saat ini, kalau tidak terlalu mendesak sekali, aku takkan pernah meminta apapun pada orangtua! Aku tidak lagi memikirkan tentang si sepeda, biarlah aku jadi bahan hinaan di sekolah dari pada harus dicoret dari kartu keluarga. Namun sampai di suatu sore yang syahdu aku menemukan sebuah sepeda terparkir angkuh di depan sebuah bengkel. Dia memang barang bekas saja tak terlalu tinggi seperti sepeda gunung, mirip BMX cuma ya KW delapan belas lah.
“Lima puluh ribu aja nih Tong! Keren kan !” promosi si abang bengkel. Wah aku tergiur sekali cuma tersedak saat mendengar harganya. Lima puluh ribu itu bukan uang sedikit buat anak sekecil ku, tak pernah aku mengantonginya. Kalau aku menabung, itu berarti tak jajan di sekolah selama hampir dua bulan. Si sepeda sesekali saja melirik ku lalu kembali mendongak tak perduli.
“Kau kira murah mendapatkan ku dasar anak udik !!
Sepanjang jalan pulang aku berpikir keras bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Kalaupun harus menabung si sepeda pasti sudah lama terjual saat uangnya terkumpul. Apa aku harus pinjam ke BANK? Ehm…tapi apa nanti tak ditertawakan??
Setibanya di rumah ku dapati semua orang sedang pergi. Adik-adikku mungkin sedang mengaji. Mama mungkin sedang main ke rumah tetangga dan papa sudah pasti masih ngantor. Tiba-tiba aku mematung melihat tas mama di atas meja makan. Resletingnya terbuka. Pasti dompet mama ada di dalamnya dan pasti juga ada selembar limapuluh ribu terselip disana.
“Lalu memangnya kenapa??”
“yah gak kenapa-napa. Cuma kan katanya lagi butuh duit kertas bergambar wajah Pak Presiden itu..”
“Yah kan harus minta Mama dulu..”
“emang bakal dikasih??”
“yah..enggak bakalan juga sih..”
“mending ambil dulu. Nanti kalau udah jadi sepeda itu duit, baru bilang. Jadikan mau tak mau yah Mama harus nerima..gimana??”
“tuh namanya nyuri dong…dosa mencuri tuh berganjar menginap di neraka sampai karatan !!”
“ah itu kan teori…kan bisa taubat. Asal kau tau yah, Tuhan itu Maha Pengasih !!”
“ehm…”
“Lagian kan kau masih kecil, belum baligh dan masih dibawah umur. Dosamu belum diperhitungkan, polisi saja tak bisa menindak mu.”
Aku berlari secepat mungkin menuju bengkel tadi. Selembar lima puluh ribu terselip pasrah di kantong celanaku dan tak lama kemudian BMX kodian yang durjana itu pun tahluk di bawah otak kriminalku. Dia manggut saja aku tunggangi.
“Hah…mana lagak mu tadi sepeda sombong? Sekarang siapa yang udik??” aku tertawa menang dan si sepeda diam saja menyesali dosa yang baru saja ku perbuat.
“…sepeda siapa Nja?” tanya adikku yang baru pulang mengaji.
“..sepeda temen..” jawabku cuek.
Seminggu sudah dan si sepeda masih nangkring di teras rumah. Aku mulai malas mengendarainya. Perasaan bersalah selalu meneror ku sejak hari itu. Orang rumah juga mulai bertanya-tanya. Mana ada anak SD meminjamkan temannya sepeda sampai seminggu? Papa mama juga mulai curiga berhubung mereka baru kehilangan lima puluh ribu dan tak tahu raib kemana.
Layaknya di magrib-magrib sebelumnya, Mama membaca Al-Quran tiap habis shalat. Seperti selalu, bila beliau mengaji, lekukan tajwidnya yang terlatih itu akan membuat semua terdiam. Apa yang sedang dikerjakan dihentikan. Apa yang sedang dipegang dilepaskan.
Seusai mengaji beliau memanggil ku. Tak seperti biasanya kali ini wajahnya serius. Aku duduk di sampingnya, pundak kiriku digenggamnya dengan kuat. Tatapannya membuat ku jadi serba tak enak. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia sedang menyelidiki sesuatu. Beliau pasti sudah menyadari kalau anak lelaki pertamanya ini sudah tak lugu lagi. Bisikan shaitan sudah bekerja di otak kecil anak ini.
“Uja tahu? Mama punya teman yang mengajinya lebih faseh dari Mama. Dia sakti. Dia bisa menerawang kejadian-kejadian yang lalu. Dia menyaksikannya dari halaman-halaman Al-Quran ini. Mama berencana menanyakan soal hilangnya uang Mama yang lima puluh ribu itu.” dadaku berat.
“…sebenarnya Mama udah ikhlas-in uang itu tapi Mama penasaran. Apa lagi setiap ngeliat sepeda teman Uja itu… Mama hanya takut kalau-kalau apa yang dilihat teman Mama itu nanti mengecewakan Mama..” sekarang jantungku yang berat.
“Apa ada yang mau Uja bilang ke Mama soal sepeda itu?...”
Tiba-tiba ini menjadi magrib terpanjang yang pernah ku alami. Aku berharap azan isya cepat-cepat berkumandang supaya pertanyaan itu tak perlu ku jawab.
Tatapan Mama makin lekat menjebak ku. Berkali-kali aku buang muka tak berhasil. Perasaan bersalah makin leluasa meneror ku memompa seluruh air di tubuhku menuju kantong mata dan aku mulai menangis. Tubuhku bergetar di hadapan Mama dan aku paksakan lidahku yang kelu untuk mulai bicara. Aku akui semuanya, aku ceritakan semuanya dan raut wajah Mama tak berubah, tatapannya makin tajam.
“Maafin Uja Ma, Uja nyesel…”
Mendengarnya, senyum Mama terbit. Beliau memelukku erat-erat.
“iya Mama maafin. Mama seneng Uja mengakuinya dan minta maaf. Mama harap Uja ngerti kesalahan Uja dan gak bakal mengulanginya lagi. Dosa...” aku terisak-isak mendengarnya.
“Mama udah ikhlas-in lima puluh ribunya. Lagian itu juga buat sepeda Uja juga kan. Mama gak bakal cerita ke siapa-siapa. Ini semua kita aja yang tahu. Maafin Mama yang gak juga beliin sepeda baru buat Uja padahal Uja udah lama minta. Maafin Mama..”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Semua ini cukup untuk membuat tubuhku lunglai. Semua persendian terasa copot, aku bagai tak bertulang. Tubuhku letih dan pasrah di pelukan mamaku. Air mata ini melarutkan semua kebodohan-kebodohanku yang telah mengecewakan orang yang paling aku cintai, orang yang paling mencintai dan mengerti aku. Maafkan aku Ma, Uja akan berusaha tak akan kecewakan Mama lagi. Janji yang sulit sekali untuk ditebus tapi harus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar