Jumat, 14 Mei 2010

Let's Get Lost !

Seorang kawan bertanya padaku-walau lebih terdengar seperti mengkritik, atau menyindir-"kenapa di Sumatera koq jarang ada tempat-tempat yang asyik buat dikunjungi? Paling danau Toba doang, di TV aja jarang diliput spot-spot pariwisatanya."

Walau aku ini nasionalis, darah chauvinis yang mendidih-didih juga dipompa jantung dalam tubuhku. Mendengarnya aku jadi gerah. Tapi tentu saja pertanyaan setengah menjatuhkan ini tak bisa ditanggapi dengan marah-marah. It won't help. Harus dengan pembuktian.
Harus diakui bahwa bisnis pariwisata di Sumatera tidaklah semaju di Jawa. Dua hal alasannya: Pertama, orang Melayu memang agak gagap pariwisata. Karena inti dari pariwisata adalah pelayanan penduduk setempat pada pendatang. Orang Melayu agak sulit melayani orang lain. Watak kami, watak majikan, jadi maaf-maaf ya..
Kedua, di era pemerintahan terpusat dulu, walau Sumatera banyak memberi pemasukan buat kantong pemerintah dari segi perkebunan dan tambang, namun kembalinya ke tanah kami dari Jakarta sangat sedikit. Di segi pariwisata, pemerintah lebih tertarik membangun Bali dan Jawa. Mungkin presiden waktu itu inginnya membangun kampungnya saja..
Kenapa TV jarang meliput Sumatera? Ehm.. aku rasa itu sih kawanku saja yang jarang nonton TV. Wong, aku sering mendapati tempat-tempat keren di Sumatera diliput di TV seperti dalam acara-acara dokumenter alam dan petualangan di TV 7 dan Trans TV. Mungkin memang tak sebanyak liputan tentang Jawa, Bali, dan Lombok, tapi aku rasa itu lebih ke masalah dana. Tentu program ke Sumatera atau pulau lain menelan biaya lebih banyak dari pada liputan di Jawa, kan? Kalau kawan pernah menjelajahi Sumatera, aku yakin kawan akan setuju bila dikatakan pulau itu memiliki banyak potensi alam untuk dijadikan spot-spot pariwisata. Disini aku akan uraikan beberapa tempat menarik yang berpotensi wisata atau yang memang sudah jadi tempat pariwisata sejak dulu di tanah Melayu, Sumatera.


Dari Merak, menyeberanglah kawan via kapal fery ke pintu gerbang paling ujung di Sumatera, Bakauheni. Kawan bisa berbelok dari Kalianda ke barat menuju pantai. Pantai disana lumayan oke, yah standar pantai wisata lah. Kelebihannya adalah dari sana anda dapat menikmati pemandangan Anak Krakatau, keturunan Gunung Krakatau yang agung itu, yang meletus hebat tahun 1883. Konon debu letusannya sampai menghalangi sinar matahari. Selama dua hari dua malam lebih, bumi gelap gulita.


Tapi di Lampung ini, Way Kambas lah primadonanya. Ekosistem dataran rendah ini mengkoleksi ketapang, cemara laut, dan meranti dari dunia tumbuh-tumbuhan. Dari kerajaan hewan, dikoleksi pula badak, gajah, harimau, tapir, siamang, bangau sandang lawe, bangau tong-tong, sempidan biru, kuau, pecuk ular, sampai bebek hutan. Ada juga berbagai jenis reptilia, amfibia, ikan, dan insekta. Semua orang juga tahu, yang namanya Way Kambas itu adalah pusat pelatihan gajah di Indonesia. Sejak berdiriannya tahun 1985, sekitar 300 ekor gajah sudah dijinakkan dan dilatih. Kalau dari pantai Kawan mampir ke Bandar Lampung, melengganglah ke Way Kambas, 112 km, dua jam perjalanan mobil.


Masih ingin menjelajahi hutan? Sumatera masih punya Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman ini membentang di empat provinsi; Sumbar, Jambi, Bengkulu, dan Sumsel. Koleksinya pun lebih kaya. Di Taman ini tersimpan 4000 jenis tanaman dan tuan rumahnya tentu saja, si bunga bangkai dan Raflesia Arnoldi yang legendaris. Selain mamalia raksasa yang Kawan temukan di Way Kambas, disini juga bermukim macan dahan, harimau loreng, katak tanduk, wau-wau hitam, simpai, dan kucing emas yang terancam punah. Di Taman Nasional Kerinci Anda bisa menikmati Danau Gunung Tujuh yang merupakan danau air tawar tertinggi letaknya di Asia dan safari ria di padang penggembalaan, rumah dari mamalia-mamalia besar; gajah, badak, tapir, rusa, dan harimau. Ada juga air terjun, goa-goa dengan stalaktit dan stalakmitnya, pancuran air panas, dan kebudayaan serta upacara-upacara adat penduduk setempat seperti suku Kubu atau Anak Dalam yang terpencil di dalam rimba, dan sangat tradisionil. Namun tentu saja buat para penahluk gunung, Gunung Kerinci yang menjulang setinggi 3.805 m diatas permukaan air laut, yang tak lain adalah gunung api aktif tertinggi di tanah Sumatera inilah maskotnya, pasti sangat menggoda bukan?


Jangan lupa mampirlah ke kampungnya mpek-mpek, kota Palembang yang indah dan nikmati salah satu sungai terpanjang alirannya di negeri ini, Sungai Musi. Pada sore sampai malam hari, kecaplah indahnya sunset yang disambut kerlap kerlip lampu malam di jembatan Ampera yang menjembatani Palembang ilir dan ulu, yang dibelah oleh Musi dengan panjang 750 km ini.


Masih di Sumatera Selatan, di kabupaten Lahat tepatnya, bercokol sebuah bukit yang puncaknya terlihat seperti ibu jari mengacung dari kepalan tangan. Warga setempat menyebutnya bukit Salero. Bukit unik ini biasa dijamah oleh para pemanjat tebing dari universitas-universitas se-Indonesia.


Kalau Kawan menyeberangi selat ke arah timur Sumsel, berlabuhlah di Bangka Belitung. Sejak diputarnya filem Laskar Pelangi, kepulauan ini makin terkenal dan makin banyak dikunjungi, karena memang indah kenyataanya. Kini Pulau Belitong juga dikenal sebagai Negeri Laskar Pekangi. Pantai -pantainya memiliki batu-batu granit yang besar berserakan sekenanya diatas pasir putih bersih yang ditingkahi ombak-ombak malas dari air laut yang biru jernih.


Ada lagi kepulauan dengan pantai indah di pantai timur Sumatera, Batam contohnya. Disini bahkan banyak spot-spot yang seru buat para penyelam. Tapi tetap saja kalau ke Batam, belanjalah temanya, karena disini banyak barang murah berkualitas dari Singapura.


Namun pantai-pantai di tepi barat Sumatera juga tak kalah hebat seperti Pantai Carocok. 60 km jaraknya dari kota Padang, Rp 2000,- tiket masuknya, maka silahkan nikmati jembatan apung yang dibuat dari kayu menjorok ke tengah laut dan salah satunya menuju ke Pulau Kereta. Pada tiap persimpangan jembatan ada gazebo tempat bersantai. Untuk mencapai pulau, pengunjung tinggal berjalan melintas laut, kira-kira 100 meter dari bibir pantai. Pulau Kereta menawarkan nuansa keindahan batu-batu laut dan karang laut.


Selain suku Anak Dalam di Jambi itu, para antropolog observers selalu tertantang untuk mendalami kepulauan Mentawai di seberang pesisir Sumatera Barat. Orang-orang proto-Melayu ini menato sekujur tubuh untuk menunjukan status dan perannya dalam komunitas.


Bila kembali ke pulau utama, mampirlah ke Paris van Sumatera, Bukit Tinggi. Kota yang lebih terlihat seperti sebuah taman yang luas ini dikenal lewat landmarknya, Jam Gadang. Di Bukit Tinggi yang pernah sempat menjadi ibu kota Indonesia sementara ini terdapat margasatwa, Jembatan Limpapeh yang mengangkangi Kampung Cina, Tangga Seribu dan Tangga Empat Puluh yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Bawah, Benteng Fort de Kock, dan Taman Panorama; Titik untuk mengamati keindahan Lembah Sianok, sebuah ngarai yang menakjubkan sepertihalnya Lembah Harau. Di taman ini juga terdapat Lubang Jepang, yakni jaringan terowongan yang membentang meronggangi bawah tanah Bukit Tinggi. Kota ini adalah tanah kelahiran wakil presiden pertama kita, Bung Hatta. Kenangan akan pahlawan proklamator ini masih tersimpan dalam rumah, pustaka, monumen, dan istana beliau.


Bila Kawan masih ingin melanjutkan penjelajahan ini, mampirlah ke kampung kami, dekat dari Bukit Tinggi, di tepi Danau Maninjau. Danau vulkanik ini, sungguh Kawan, memiliki panorama tak terkira indahnya. Anda bisa mengelilinginya dengan sepeda motor, seharian saja, atau mendaki kelok 44 dan menikmati genangan luas ini dari ketinggian di Embun Pagi atau Puncak Lawang. Jangan sebut diri Anda seorang paraglider sejati kalau belum terjun dari Puncak Lawang dan turun mengapung-apung sampai Bayur di tepi danau. Sudahlah, datang saja dulu, maka Kawan tak akan menuduh ku pembohong setelah terkagum-kagum sendiri dengan cerminan yang luas ini.


Sumatera memang pulau seribu danau di Indonesia, selain Maninjau, ada juga Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah, dan, kawan sudah barang tentu kenal, Danau Toba yang besar. Bagiku pribadi, danau ini adalah salah satu keajaiban dunia yang menari-nari di depan mata kita orang Indonesia. Saking luasnya danau ini jadi terlihat seperti laut dengan pulau Samosir yang bercokol di tengahnya. Kalau Kalian ingin bertandang kesana, ikutlah aku sekalian. Aku juga belum pernah. Pasti seru menikmati keindahan alam disana sekaligus mempelajari kebudayaan tradisional Batak.


Buat para pemberani, silahkan lanjutkan perjalanan sampai Serambi Mekah, Aceh. Perseteruan GAM dan TNI , dan tsunami sedikit banyak membuat terhambatnya perkembangan pariwisata di provinsi ini. Semenjak perdamaian yang telah tercipta, geliat pembangunan mulai terasa disana. Mari kita berdayakan provinsi Aceh Darus Salam ini, terutama titik-titik yang berpotensi wisata karena aku yakin Aceh juga hebat alam dan kebudayaannya, hanya saja kurang eksplorasi.

Selayang pandang di Sumatera telah kita lalui. Aku bukannya ingin berlagak-lagak Kawan, hanya ingin memperkenalkan bahwa Indonesia ini luas, bukan cuma Jawa Bali saja. Memang kita harus kelilingi dunia, tapi malu rasanya kan bila kita tak mengenal negeri sendiri. Maka dengan kerendahan hati, dengan lagak seperti penyuluh dari National Geography community, aku mengajak pada kawan-kawan sekalian;

Enjoy your planet and let’s get lost !



Minggu, 09 Mei 2010

Aku juga mencintaimu, terima kasih...


Alkisah hiduplah seorang pemuda bernama Syamsul Bachri. Ia tinggal di tepi sebuah danau indah, danau Maninjau namanya. Pemuda yang beranjak dewasa ini telah lama jatuh hati pada seorang gadis rupawan bernama Siti Nurbaya. Sesungguhnya mereka telah lama saling mengenal. Sejak kecil mereka berdua telah bermain bersama.
Maninjau telah menjadi tempat paling melankolis bagi Bachri selama masa remajanya. Namun Maninjau juga menjadi tempat yang paling menyedihkan baginya. Siti adalah representasinya tentang cinta. Memang Siti yang cantik jelita ini baik hati dan perhatian sekali pada Bachri. Kemana-mana mereka selalu bersama. Ke Pasar Senayan di hari Senin, Pasar Raba'a di hari Rabu, Akae'di hari Kamis, Jumek di hari Jumat, dan kesekolah pun mereka berangkat dan pulang bersama. Namun hati manusia siapa tahu. Hati Siti sangatlah misterius bagi Bachri. Selama ini yang tampak, Siti hanya menganggap Bachri tak lebih dari sekedar kawan. Ia tampak tak peduli pada hati rapuh pria berhati bocah ini. Bachri pun tak kuasa menyatakan cintanya pada Siti. Keberanian itu, yang selalu dikumpulkan pada malam hari di biliknya, selalu menguap tiap kali berhadapan dengan Siti. Menguap oleh hangatnya senyuman Siti, bak embun yang naik di waktu Duha, atau lelah yang sirna saat kita terjaga.

Kecantikan Siti ini kiranya menggema ke sekeliling danau. Berita ini sampai juga di daun telinga seorang tua kaya raya bernama Datuk Maringgih. Datuk yang baru kehilangan isteri tuanya ini, ingin melengkapi lagi isteri-isterinya sehingga kembali genap empat. Ia teringat akan uangnya yang lama telah dipinjam dan tak terkembalikan oleh ayah Siti. Segeralah ia berangkat ke rumah Siti untuk menagih hutang dan memastikan sendiri legenda kecantikan Siti. Mendapati ia betapa cantiknya Siti ini, bersegera ia melamar gadis itu dan sebagai gantinya hutang-hutang ayah Siti berikut bunga-bunganya diputihkan. Tadinya Siti tak berkenan disita begitu saja namun apa daya, ayahnya memang sudah tak mampu lagi melunasi hutang-hutang sebanyak itu. Ayahnya sudah tua renta yang sakit-sakitan dan ibunya telah lama tiada.

Tibalah hari pernikahan sang datuk yang berumur hampir 3/4 abad dengan gadis yang lebih pantas disebut cucunya itu. Bachri hanya mampu menelan kepedihan itu. Di malam pertama, Siti menolak untuk melayani nafkah batin Datuk. Datuk pun naik pitam dan menampar Siti. Siti meninggal karena itu dan tentu itu membuat Bachri makin hancur mendengar kabarnya.

Sebulan berselang terdengar kabar Datuk menikahi gadis lain. Bachri menyempatkan singgah ke rumah Almarhumah Siti. Ayah Siti memberinya sebuah buku catatan harian yang dititipkan Siti agar diberikan pada Bachri sebelum hari pernikahannya. Bachri begitu terkejut membaca buku itu karena disitu Siti menuliskan seluruh isi hatinya yang sebenarnya. Ternyata selama ini Siti memendam perasaan yang sama pada Bachri. Sedihnya Bachri mengetahui hal ini dan ia begitu marah mendengar bahwa ternyata Datuk sendirilah yang membunuh Siti, karena kabar yang ia dengar sebelumnya, Siti jatuh terpeleset di kamar mandi.

Berhambur keluar Bachri menuju rumah sang Datuk. Setelah berhasil melumpuhkan penjaga-penjaga rumah, Bachri segera menemui Datuk yang bersembunyi di dalam rumah. Terjadi perkelahian yang sengit antar mereka. Orang tua itu berhasil menikam punggung Bachri namun sejurus kemudian Bachri berhasil merobek perut musuhnya dengan parang. Setelah mati Datuk Maringgih di tangannya, Bachri segera berlari ketepian danau dan bersandar pada sebatang pohon. Darah hangat mengalir deras keluar dari punggungnya. Disaat dingin mulai memeluk tubuhnya, sesosok wanita cantik jelita menghampiri. Ia berpakaian bak anak daro dengan baju kurung dan bermahkotakan suntiang emas yang megah . Sungguh mempelai wanita yang elok tak terkatakan. Semakin dekat semakin teranglah siapa wanita itu gerangan. Ternyata itu Siti. Bukan malaikat maut. Siti tersenyum dan meraih tangan Bachri.

" Bila engkau dan aku diterima di surgaNya, engkaulah yang pertama kan ku cari dan aku miliki. Aku tak ingin gagal lagi seperti di dunia ini, Engkaulah bidadari yang ku butuh untuk menemani ku di sana. Karena engkaulah yang ku cintai selama ini", berkata Bachri.

Sambil tersenyum Siti Nurbaya menjawab, " Aku juga mencintaimu, terima kasih" Lalu keduanya menghilang dibalik halimun.

Rabu, 05 Mei 2010

Janji yang sulit sekali untuk ditebus tapi harus

Apa lagi yang diocehkan Pak Djalal ini? Saat ini aku benar-banar sedang tak bisa diajak berdamai. Napas ku masih ngap-ngapan ditingkahi jantung yang berdetak terburu-buru. Tadi aku tertinggal oleh teman-teman ku bersepeda. Kami bersepeda menuju rumah Pak Djalal di Jl Lestari agak dalam sedikit. Pak Djalal memberi sedikit les tambahan di bidang matematika supaya murid-mudidnya makin siap menghadapi ujian akhir. Hebat benar orang tua itu, dia sebenarnya guru agama tapi tak disangka juga piawai mengajar ilmu berhitung.
Seperti biasa sore ini kami berkumpul dulu di sekolah kami, SDN 01 Cijantung pagi, lalu beramai-ramai menuju rumah guru agama–matematika itu dengan sepeda masing-masing. Dengan status yang sudah kelas enam ini seharusnya kami memang mengendarai sepeda buat anak kelas enam, sepeda yang agak tinggi seperti sepeda gunung atau sepeda BMX yang bisa buat atraksi. Hanya aku, ya hanya aku yang masih mengendarai sepeda kecil, sepeda yang sama yang aku dapatkan saat TK dulu. Sepeda roda empat–ada dua tambahan roda kecil di pelek belakang–yang tak lain adalah sepeda pertama ku. Kendaraan yang aku pakai untuk belajar berkendara. Tentu saja agak memalukan dan sebagai sepeda mini tentu aku takkan sanggup jangankan untuk membalap sepeda teman-temanku, bahkan untuk menyusul mereka saja mustahil.
Saat memasuki gapura Jl. Lestari teman-teman ku itu berhenti sejenak demi menunggu ku. Ada mungkin lima belas menit kemudian mereka baru bisa melihat aku yang tergopoh-gopoh mengayuh sepeda bermerek Lion itu di kejauhan. Demi melihat aku lalu mereka langsung ramai-ramai kembali ke sepeda masing-masing dan tancap gas lagi meninggalkan ku sambil tertawa puas. Kiranya mereka hanya ingin melihat wajah menyedihkan ku keletihan menyusul mereka. Aku hanya disisakan debu. Menyebalkan !
Sesampai di rumah Pak Djalal, sepeda-sepeda brengsek itu sudah terpakir rapih di beranda. Aku tak banyak membuang waktu hanya menggelatakkan si Lion itu begitu saja dan segera berlari ke lantai atas ruang kelas les kami. Begitu melihat batang hidung ku yang mancung ini Pak Djalal langsung mendamprat ku karena hanya aku yang telat. Aku jadi tak fokus dengan pelajaran yang disampaikan Pak Djalal sore itu.
Biar kata bukan kegiatan belajar mengajar konvensional, les tambahan dari Pak Djalal ini juga ada jam istirahatnya lho. Saat istirahat kami biasanya jalan-jalan ke bukit-bukit dibelakang rumah si bapak. Bukit-bukit itu biasa dipakai sebagai area latihan Kopasus, namun saat absent latihan jadilah wilayah itu menjadi taman bermain bagi anak-anak kampung. Ada yang main layangan, melepas burung dara, ada yang bermain bola, ada juga yang ber motocross ria dengan sepeda seperti kami. Anehnya, walau sepedaku yang paling menyedihkan diantara sepeda-sepeda lain di armada kami dan teman-teman ku selalu bersemangat untuk mengata-ngatai nya, yah koq cuma sepeda ku yang selalu jadi rebutan untuk ber motocross ria, bukannya BMX-BMX itu yang sering diklaim sepeda yang pas buat aksi, ngetril sana ngetril sini, atau sepeda gunung itu yang selalu digadang-gadangkan jangankan bukit-bukit rendah itu, gunung pun mampu digagahinya ya sesuai namanya, sepeda gunung. Sepeda ku dipinjam bergantian oleh para begundal itu bahkan aku saja tak kebagian giliran. Dan yang paling menyebalkan, sudahlah mereka perkosa asal-asalan, sepeda ku tetap saja mereka hina. Keterlaluan sekali !!
Sepulangnya aku menggenjot sepeda dengan hati hancur. Tak cuma sekali aku dan sepedaku diperlakukan se-enaknya seperti ini. Tak selayaknya anak seusia ku harus menahan sabar seperti itu. Aku jarang merengek-rengek meminta ini itu kepada orangtuaku tapi aku rasa kali ini aku berhak untuk menagih mereka. Aku muak dihina-dina seperti itu. Esok sore aku mencoba dekati papa. Mendekati beliau seperti mendekati presiden, harus hati-hati dan menjaga sikap. Setiap minggu sore papa biasa bersantai di ruang tamu sambil membaca buku atau koran, ditemani segelas kopi hitam. Suasana seperti itu pasti membuatnya sangat relax, maka aku rasa beliau takkan marah kalau aku ganggu sedikit. Lalu segera saja aku utarakan maksudku padanya agar dibelikan sepeda baru, sepeda yang agak besar yang cocok dengan ku.
“Bukannya Papa gak mikirin itu Sayang, tapi kan bisa nanti kalau ada duitnya..”
Beberapa hari kemudian aku meminta lagi dan jawabannya kurang lebih sama. Minggu depannya aku mengkonfirmasi perihal proposal sepeda baru maka jawabannya tak beda cuma sekarang dengan nada agak terganggu.
“ehm...baiklah !!”
Maka sejak itu sampai saat ini, kalau tidak terlalu mendesak sekali, aku takkan pernah meminta apapun pada orangtua! Aku tidak lagi memikirkan tentang si sepeda, biarlah aku jadi bahan hinaan di sekolah dari pada harus dicoret dari kartu keluarga. Namun sampai di suatu sore yang syahdu aku menemukan sebuah sepeda terparkir angkuh di depan sebuah bengkel. Dia memang barang bekas saja tak terlalu tinggi seperti sepeda gunung, mirip BMX cuma ya KW delapan belas lah.
“Lima puluh ribu aja nih Tong! Keren kan !” promosi si abang bengkel. Wah aku tergiur sekali cuma tersedak saat mendengar harganya. Lima puluh ribu itu bukan uang sedikit buat anak sekecil ku, tak pernah aku mengantonginya. Kalau aku menabung, itu berarti tak jajan di sekolah selama hampir dua bulan. Si sepeda sesekali saja melirik ku lalu kembali mendongak tak perduli.
“Kau kira murah mendapatkan ku dasar anak udik !!
Sepanjang jalan pulang aku berpikir keras bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Kalaupun harus menabung si sepeda pasti sudah lama terjual saat uangnya terkumpul. Apa aku harus pinjam ke BANK? Ehm…tapi apa nanti tak ditertawakan??
Setibanya di rumah ku dapati semua orang sedang pergi. Adik-adikku mungkin sedang mengaji. Mama mungkin sedang main ke rumah tetangga dan papa sudah pasti masih ngantor. Tiba-tiba aku mematung melihat tas mama di atas meja makan. Resletingnya terbuka. Pasti dompet mama ada di dalamnya dan pasti juga ada selembar limapuluh ribu terselip disana.
“Lalu memangnya kenapa??”
“yah gak kenapa-napa. Cuma kan katanya lagi butuh duit kertas bergambar wajah Pak Presiden itu..”
“Yah kan harus minta Mama dulu..”
“emang bakal dikasih??”
“yah..enggak bakalan juga sih..”
“mending ambil dulu. Nanti kalau udah jadi sepeda itu duit, baru bilang. Jadikan mau tak mau yah Mama harus nerima..gimana??”
“tuh namanya nyuri dong…dosa mencuri tuh berganjar menginap di neraka sampai karatan !!”
“ah itu kan teori…kan bisa taubat. Asal kau tau yah, Tuhan itu Maha Pengasih !!”
“ehm…”
“Lagian kan kau masih kecil, belum baligh dan masih dibawah umur. Dosamu belum diperhitungkan, polisi saja tak bisa menindak mu.”
Aku berlari secepat mungkin menuju bengkel tadi. Selembar lima puluh ribu terselip pasrah di kantong celanaku dan tak lama kemudian BMX kodian yang durjana itu pun tahluk di bawah otak kriminalku. Dia manggut saja aku tunggangi.
“Hah…mana lagak mu tadi sepeda sombong? Sekarang siapa yang udik??” aku tertawa menang dan si sepeda diam saja menyesali dosa yang baru saja ku perbuat.
“…sepeda siapa Nja?” tanya adikku yang baru pulang mengaji.
“..sepeda temen..” jawabku cuek.
Seminggu sudah dan si sepeda masih nangkring di teras rumah. Aku mulai malas mengendarainya. Perasaan bersalah selalu meneror ku sejak hari itu. Orang rumah juga mulai bertanya-tanya. Mana ada anak SD meminjamkan temannya sepeda sampai seminggu? Papa mama juga mulai curiga berhubung mereka baru kehilangan lima puluh ribu dan tak tahu raib kemana.
Layaknya di magrib-magrib sebelumnya, Mama membaca Al-Quran tiap habis shalat. Seperti selalu, bila beliau mengaji, lekukan tajwidnya yang terlatih itu akan membuat semua terdiam. Apa yang sedang dikerjakan dihentikan. Apa yang sedang dipegang dilepaskan.
Seusai mengaji beliau memanggil ku. Tak seperti biasanya kali ini wajahnya serius. Aku duduk di sampingnya, pundak kiriku digenggamnya dengan kuat. Tatapannya membuat ku jadi serba tak enak. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia sedang menyelidiki sesuatu. Beliau pasti sudah menyadari kalau anak lelaki pertamanya ini sudah tak lugu lagi. Bisikan shaitan sudah bekerja di otak kecil anak ini.
“Uja tahu? Mama punya teman yang mengajinya lebih faseh dari Mama. Dia sakti. Dia bisa menerawang kejadian-kejadian yang lalu. Dia menyaksikannya dari halaman-halaman Al-Quran ini. Mama berencana menanyakan soal hilangnya uang Mama yang lima puluh ribu itu.” dadaku berat.
“…sebenarnya Mama udah ikhlas-in uang itu tapi Mama penasaran. Apa lagi setiap ngeliat sepeda teman Uja itu… Mama hanya takut kalau-kalau apa yang dilihat teman Mama itu nanti mengecewakan Mama..” sekarang jantungku yang berat.
“Apa ada yang mau Uja bilang ke Mama soal sepeda itu?...”
Tiba-tiba ini menjadi magrib terpanjang yang pernah ku alami. Aku berharap azan isya cepat-cepat berkumandang supaya pertanyaan itu tak perlu ku jawab.
Tatapan Mama makin lekat menjebak ku. Berkali-kali aku buang muka tak berhasil. Perasaan bersalah makin leluasa meneror ku memompa seluruh air di tubuhku menuju kantong mata dan aku mulai menangis. Tubuhku bergetar di hadapan Mama dan aku paksakan lidahku yang kelu untuk mulai bicara. Aku akui semuanya, aku ceritakan semuanya dan raut wajah Mama tak berubah, tatapannya makin tajam.
“Maafin Uja Ma, Uja nyesel…”
Mendengarnya, senyum Mama terbit. Beliau memelukku erat-erat.
“iya Mama maafin. Mama seneng Uja mengakuinya dan minta maaf. Mama harap Uja ngerti kesalahan Uja dan gak bakal mengulanginya lagi. Dosa...” aku terisak-isak mendengarnya.
“Mama udah ikhlas-in lima puluh ribunya. Lagian itu juga buat sepeda Uja juga kan. Mama gak bakal cerita ke siapa-siapa. Ini semua kita aja yang tahu. Maafin Mama yang gak juga beliin sepeda baru buat Uja padahal Uja udah lama minta. Maafin Mama..”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Semua ini cukup untuk membuat tubuhku lunglai. Semua persendian terasa copot, aku bagai tak bertulang. Tubuhku letih dan pasrah di pelukan mamaku. Air mata ini melarutkan semua kebodohan-kebodohanku yang telah mengecewakan orang yang paling aku cintai, orang yang paling mencintai dan mengerti aku. Maafkan aku Ma, Uja akan berusaha tak akan kecewakan Mama lagi. Janji yang sulit sekali untuk ditebus tapi harus.