Sabtu, 30 Oktober 2010

Membahas Bahasa


Kita punya koq bahasa sendiri. Bahasa Indonesia namanya. Bahasa yang indah dan tidak menyusahkan telinga. Bahasa yang sudah dipakai sejak lama. Nenek moyang kita menggunakannya sebagai lingua franca di nusantara. Bahasa yang telah membangun peradaban dan merekam sejarah bangsa. Bahasa yang telah mempersatukan kita lewat Sumpah Pemuda. Bahasa yang dipakai bapak bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan negara. Bahasa yang diucapkan orangtua kala mendidik kita. Bahasa yang mengakrabkan kita dengan saudara sebangsa dari berbagai suku di tanah air ini. Bahasa yang tidak kaku dan terbuka. Bahasa yang egaliter, yang tidak mengenal strata sosial. Semua sama di mata Bahasa Indonesia. Kita sudah lama merawat bahasa ini dengan segala susah-senangnya. Lalu kenapa kita masih malu menggunakannya? Kenapa pembawa berita lebih senang menuturkan kata /’chaina/ dari pada /Cina/? Kenapa masih sering menyelipkan versi Inggris dari suatu istilah yang kita punya padanannya dalam bahasa kita? Padahal sedang berpidato kenegaraan kepada rakyat yang sebagian besar mungkin tak mengerti dengan istilah-istilah asing itu. Apa karena ingin pamer saja karena baru belajar Bahasa Inggris?

Malulah pada bapak-bapak bahasa kita, Muhammad Yamin, Thabrani, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, dan lainnya. Bung Karno pernah memohon pada rakyatnya, kali ini dengan nada suara seperti memelas dan tidak berapi-api seperti biasanya. “Aku minta kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, delapan puluh juta jumlahnya. Setialah !”